2. Terlambat

1K 227 168
                                    

Gemercik air hujan turun membasahi inti bumi yang kian gersang lumayan panjang, disebabkan oleh kemarau yang masih betah bersikeras menetap pada daratan yang kepalang rindu akan musim yang seharusnya berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gemercik air hujan turun membasahi inti bumi yang kian gersang lumayan panjang, disebabkan oleh kemarau yang masih betah bersikeras menetap pada daratan yang kepalang rindu akan musim yang seharusnya berlalu.

Musim telah berganti dengan signifikan di pertengahan bulan Oktober. Menjadikan suasana pagi ini lebih menyegarkan dari pagi sebelumnya.

Kala jatuh berderai, seakan alam sedang bernapas memberikan rasa damai. Sebagian manusia menggerutu waktunya habis ditelan oleh air yang jatuh menaungi tempatnya berpijak, walau sebagian yang lain merasa terhormat atas berkah bagai pesan tersirat yang diberikan sang pencipta untuk memeluk jiwa-jiwa yang lara. Hujan pun masih bisa menjadi kontra dalam pandangan manusia, bagaimana manusia yang tak luput dari dosa? Pro dan kontra biarlah mereka yang menilai, lantas menjalani hidup ini bukanlah perihal melayani penilaian mereka.

Wanita setengah paruh baya itu setengah melamun meratapi bulir air yang jatuh menyirami tanaman hias yang berjajar rapi di sepanjang halaman.

Terburu-buru Jeje menuruni anak tangga tanpa lambat, nyaris berhenti di anak tangga terakhir kala melihat sorot mata mamanya jauh memandang ke luar kaca jendela dengan posisi termenung di atas kursi roda.

"Ma?" Ucap Jeje setelah mendekat, memegang halus pundak mamanya.

Mamanya menoleh sedikit ke bahu, pada tangan mungil yang menyentuhnya.

"Pagi pagi udah ngelamun aja, mikirin apa coba?" Jeje menyolek manja hidung sang mama.

Mama Jeje tidak menjawab, hanya dibalas oleh senyuman tipis nyaris tak kentara. Entah apa arti dari senyuman yang tidak ia niatkan itu.

Spontan Jeje memudarkan senyumnya, kembali berdiri tegak dari posisinya yang sedikit membungkuk barusan.

Jeje menoleh ke arah nakas di samping mamanya, juga tersedia macam-macam jenis obat di sana.

"Mama udah minum obat?"

Tak menanggapi, mamanya hanya fokus pada bulir air yang terus mengguyur kota ini sejak subuh tadi.

"Cepat berangkat ke sekolah nak, sudah jam berapa ini?" Alih-alih menjawab, sang mama malah melontarkan perintah tersebut.

Jeje menoleh ke arah jam dinding, menghempaskan napas panjang yang begitu berat setelah menerima fakta bahwa dirinya pasti akan terlambat lagi untuk mengikuti jam pelajaran pertama.

"Jangan sampai telat mulu loh..."

Kembali ia mengalihkan pandanganya ke arah sang mama. Kemudian, mengeluarkan beberapa obat ke telapak tangannya, juga ia sediakan gelas yang diisi oleh air putih hingga penuh.

Sebuah Rasa Tanpa AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang