Ia kembali lagi dengan lebih segera. Masih dengan sepasang cangkir kopi di tangan, dan senyum seperti bocah yang baru pulang memancing dengan hasil yang membuatnya bangga. Konsistensi ini mengurungkan seluruh langkah pergi yang tadi hendak kuambil."Ruang tunggu jarang sesepi sekarang," ia berkata, mengulurkan satu cangkir kepadaku. "Biasanya setidaknya separuh kursi ini penuh. Segala aroma apa juga ada sampai bikin pusing."
"Kamu tinggal bikin kopi."
Tangkai pel yang menyapu sisa-sisa kopi yang tumpah sebelumnya masih diayunkan oleh petugas kebersihan di depan kami. Aku masih merasa bersalah atas insiden itu, tapi separuh diriku masih menginginkan kesunyian. Sebab kepalaku riuh sejak semalam, sebab aku tak tidur. Maka biar saja percakapan ini berlangsung pelan-pelan.
"Apa?" tanyanya.
"Aroma kopi selalu membuat senang," tukasku, dan ia tersenyum. "Kamu ini tidak kerja apa bagaimana? Itu petugas yang lain sudah di meja mereka masing-masing."
Ia merogoh saku seragam, dan mengeluarkan sekeping kartu identitas yang kemudian diulurkannya kepadaku. Laki-laki dalam foto di kartu itu mungkin lima tahun lebih muda dari dirinya sekarang, dengan potongan rambut pendek seperti perwira militer. Senyumnya polos dan lepas, demikian pula sorot matanya. Itu membuatku tersenyum.
"Aircraft engineer?"
Ia mengangguk. "Aku datang terlalu pagi."
"Muhammad Gaza," kukembalikan kartu itu. Ia berkata halo, dan memasukkan kembali kartunya ke dalam saku. "Mereka masih memperebutkan kamu sampai sekarang, Gaza?"
"Ya, Israel mengira aku menyimpan harta rahasia yang Palestina tidak tahu. Kasihan. Siapa namamu?"
Kalimat jawabannya terdengar pasrah, mungkin karena telah menerima pertanyaan yang serupa ini ratusan kali. Nada suara itu, atau mungkin suara itu sendiri, membuatnya seolah tanpa pertahanan diri. Barangkali itulah yang membuatku meloloskannya, dan mulai merasa tak adil sebab terus menutup diri.
"Athena."
"Jauh sekali."
Aku benar-benar tertawa kali ini, meski tak kumengerti betul untuk apa. Gurauan 'Athena jauh sekali' itu sudah kudengar berkali-kali sejak kecil. Dan tawaku mungkin bahkan terlalu keras, hingga ia tersenyum.
Yang kutahu, usia tak pernah gagal mengikis kepolosan seseorang. Kita selalu tumbuh menjadi lebih sulit percaya dan lebih mudah curiga, dan itu membuat kita kehilangan kesenangan-kesenangan kecil. Aku nyaris memercayai bahwa inilah yang membuat orang mengerut ketika menua. Amat jarang ada yang lolos dari perangkap ini, dan kemudian menua dengan indah.
Namun Gaza seperti itu.
Senyumnya menyenangkan, benar-benar masih seperti senyum yang tercetak di kartu identitas yang tadi ia tunjukkan. Masih terlihat polos, terlihat tulus. Kebaikan ketika ia memberi uluran tangan di mesin jual tadi terasa hingga sejauh ini, tersisa di hangat kopi dalam genggamanku.
"Waktu aku kecil," ujarku, memalingkan wajahnya tadi tetes air di ujung-ujung kanopi terminal. "Kami tinggal di daerah pegunungan karena tugas ayah, dan di belakang rumahku ada hutan. Daerah itu sedang dibangun, jadi hutan itu dibuka seluas-luasnya. Setiap pagi, aku sering menghirup aroma pohon yang dipangkas atau ditebangi. Aroma yang manis, harum dan segar, khas pohon-pohon itu jadi yang paling kusuka sampai sekarang."
Di saat lain, aku tahu aku akan diabaikan bila bicara begitu. Aku sepenuhnya mengerti, sebab siapa yang peduli pada aroma pohon. Itu sebabnya aku lebih sering memilih tidak bicara pada orang. Jarang ada yang benar-benar mendengar.
YOU ARE READING
Sembilan Puluh Menit
RomanceSehari setelah kecelakaan Lion Air JT 610 akhir Oktober lalu, aku melakukan perjalanan udara dengan maskapai yang sama. Sebenarnya takut juga, tapi hari itu pikiranku jernih dan dingin seperti es, jadi aku putuskan untuk menulis cerita ini. Ini cer...