Bagian Tiga: Closure

1.2K 157 22
                                    




Sudah kukatakan, segalanya hanya rangkaian dari kebetulan demi kebetulan. Sangat sedikit yang sesuai rencana, bahkan setelah kita sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan kebetulan-kebetulan ini.

Lorong yang merentang antara badan pesawat dan terminal keberangkatan ingin kutempuh dengan berlari. Aku tak tahu apa Gaza masih di sana. Kuharap ia telah lama pergi, sebab aku tak lagi berani untuk kembali menoleh ke belakang. Aku tak akan sanggup untuk mendapati sorot matanya lagi, atau kembali merasakan suaranya, atau mendengar setiap apa yang ia ucapkan bahkan di dalam pikiranku sendiri.

Sudah berakhir.

Aku hanya tak mengerti bagaimana seorang yang kita kenal begitu singkat mampu meninggalkan bekas begitu dalam. Aku mencoba mengamati bekas ini, berupaya memahami mengapa aku merasa sangat kehilangan. Namun, lagi-lagi, hidup lebih sering tak memberi jawaban apa-apa. Kau hanya perlu menerima sesulit apapun kenyataan, tanpa banyak tanya.

Atau menghibur diri, mungkin masih ada orang lain yang begini.

Masih ada kaki-kaki lain yang pagi ini harus beranjak. Untuk kota lain yang harus dituju, untuk orang-orang lain yang harus ditemui, dan lebih banyak orang-orang lain yang ditinggalkan. Hidup tak akan berhenti hanya untuk satu-dua orang. Pesawat ini tetap terbang meski separuh penumpang telah membatalkan perjalanan, meski belasan kursi kosong membentang di sepanjang lorongnya.

Layar penutup jendela masih terangkat separuh ketika kutenggelamkan diri di antara sepasang bangku biru yang kosong. Berharap untuk segera tinggal landas, lalu terlelap tidur. Kurasa hujan telah reda, maka kunaikkan layar penutup itu.

Ia sedang berlari di sana.

Ia bergegas meninggalkan gedung terminal, menapaki aspal yang basah dengan langkah-langkahnya lebar. Memapasi seorang petugas lapangan dengan menunjukkan kartu identitas itu hingga dibiarkan lewat. Aku masih sempat mengira ia akan naik untuk melaporkan sesuatu tentang pesawat ini atau apa, bertanya-tanya untuk apa ia ada di sini. Tetapi, di antara kedua tangga di bawah itu, ia hanya berdiri. Lama. Matanya memindai satu demi satu jendela pesawat, dari ujung ke ujung sebelum akhirnya menemukanku.

Aku tak mampu mendengar apa yang ia ucapkan. Namun ia melambaikan tangan, meyakinkanku untuk terus melihat dirinya sana. Yang kutahu, ia begitu indah. Hanya itu. Sangat tampan, dan selama beberapa detik itu ia berada di sana untukku. Hanya untukku.

"Apa?" tanyaku.

Tak sedikit pun suara yang mampu kudengar kecuali risik bagasi yang ditutup, mesin penghitung penumpang yang sedang ditekan oleh jemari pramugari, dan alunan bossanova di sepanjang kabin. Ia masih mengatakan sesuatu, mengulang hal yang sama.

Tangga-tangga pintu kini ditanggalkan dari badan pesawat.

Gaza masih tertinggal di bawah. Ia melangkah mendekat, tetapi sepasang petugas lain dengan seragam yang serupa menahan dadanya agar tak mendekat. Kami masih saling bertatapan ketika pesawat mulai bergerak, seorang pramugari memintaku mengenakan sabuk, dan ia terdorong mundur.

Ia pun melambaikan tangan. Kalimatnya setelah itu masih tak terdengar, tetapi kini aku tahu pasti; selamat jalan.

Kenyataan yang kusadari sesaat kemudian membuatku menangis.

Dan aku baru mengerti saat awan di langit mulai terangkat jauh, seperti matahari yang pelan-pelan memasuki celah-celah cahaya di dalam kabin. Gerak bibirnya selama ia melambai di atara tangga itu pun perlahan-lahan terbaca. You deserve to be happy, ucapnya, you deserve it. Mungkin aku memang hanya dapat melihat beberapa hal dari jarak yang jauh. Seperti kenangan-kenangan, atau cinta yang hanya berlangsung selama sembilan puluh menit.

Hanya sesingkat itu, tapi kini aku tahu aku pernah benar-benar memilikinya. Aku benar-benar telah kembali jatuh cinta. Aku masih memiliki kekuatan sebesar itu.

Hari ini aku telah pulih.

***

Sembilan Puluh MenitWhere stories live. Discover now