"Bid, kabur buru. Pak Amin udah deket sini," ujar Fajar panik. Cowok itu berkeringat deras sambil menoleh ke belakang berkali-kali.
Dengan kekehan pelan, Bida mengangkat kakinya meloncati jendela yang menghadap langsung ke halaman belakang sekolah.
"Udah gue. Lo sekarang loncat. Bisa gak badan lo?" Kata Bida.
Melihat keadaan sekolah yang kacau karena razia, membuat seluruh remaja di Raskil merasa kiamat dadakan.
Fajar, teman sekelas Bida yang berbadan gempal. Fajar berusaha meloncati jendela yang tingginya sepinggang. Karena, kalau dia salah melangkah sedikit, bisa saja badannya berguling ke bawah.
"Bid, tangkep gue di bawah. Pak Amin udah masuk ke Ips 3," pinta Fajar memelas. Bida menatapnya tidak percaya. Menangkap berarti menahan dengan tubuh kan? Bisa hancur badannya nanti.
"Gila lo. Yang bener aja! Ini gak tinggi elah, Jar. Kalo jatoh tinggal guling doang. Buruan. Ada Bu Sari di kanan lo," Ucap Bida.
Mata Fajar mengerjap takut. Cowok itu terlihat sedang merapal doa. Dengan tangan yang gemetar Fajar berusaha meloncati jendela dan... Berhasil.
Mereka berdua melarikan diri ke belakang sekolah. Tempat persembunyian saat gawat darurat.
"BID!" teriak seseorang.
"Dari kapan lo di sini? Gak ada nungguin Gue," Tanya Bida.
"Dari serangan badai yang bilang bakalan ada razia. Bisa mampus rambut gue kalo ampe kena gunting, celana gue apalagi," Jawab Manu.
Bida melirik anak-anak lain yang turut bersembunyi di sini. "Mana yang lain?" Tanyanya.
Manu mengendikkan bahu. "Lo sendiri? Kenapa bisa bareng si gajah?"
Bida melirik Fajar yang tampak canggung di antara kerumunan siswa.
"Gak sengaja itu. Gue abis dari kamar mandi. Ketemu dia di depan lorong. Bilang ke gue ada razia. Dia panik keringetan. Jijik gue ingetnya," Bida mengusap belakang kepalanya. "Terus dia bilang ke gue, mau ikut gue kabur. Gue kaget, tipikal anak anti BK kayak gitu, gak mungkin ikut gue. Terus dia bilang dia lagi bawa semua komik hentainya. Lo liat aja baju ama sakunya," Unjuk Bida menggunakan dagunya.
Manu melihat Fajar yang memang bajunya tampak penuh oleh buku-buku kecil. Menggeleng geli. Emang kadang cowok yang suka diam di kelas harus dipertanyakan keasliannya.
Bida mengingat sesuatu. Cowok itu mengeluarkan hpnya dari saku. Mengetikkan beberapa kata. Menatap Manu yang juga sedang melihatnya. Mengisyaratkan Manu untuk mendekat yang untungnya dipahami cowok itu.
"Apaan?" Tanyanya.
"Asgar yang ngepiloks dinding kemaren."
Manu menganggukkan kepalanya. "Berarti Yayan bersih?"
"Iya. Nyesel gue udah nonjok tuh anak." Tukas Bida.
Manu menepuk pundak Bida. "Lo inget bukan cuma masalah piloks doang yang harus diselesein sekarang. Anak-anak pada ragu kan ke elo?"
"Gak peduli sih gue sebenarnya. Percaya atau ragu itu urusan mereka. Tugas gue ya, ngelurusin semuanya." Jawab Bida. Dia menghembuskan napas lelah.
Rahang Manu mengeras menahan amarah. "Mereka gak bisa menghakimi lo gitu aja dong. Gak adil namanya," Bida tersenyum miris. "Punya perkumpulan kayak gini lo bilang adil? Iya?"
******
Berada di laboratorium sendirian, bersama patung anatomi anggota tubuh manusia. Dia mendengus kesal, bagaimana mungkin ia memiliki teman kelas yang sebegininya.
Teman-teman sekelasnya mengatakan akan ada praktikum untuk mata pelajaran biologi, dia lantas bergegas menuju laboratorium.
Namun, sesampainya ia di sana tidak ada seorangpun yang sedang melaksanakan praktikum atau berada di laboratorium tersebut.
Bahkan ia baru tau kalau laboratorium tidak digunakan sedari jam kedua dimulai yang berarti satu jam yang lalu. Poppy, anak kelas sebelas IPA 2 yang berbaik hati telah memberi tahunya.
Dengan jengkel ia malah memasuki laboratorium itu bukannya berbalik menuju kelas. Tangannya menyentuh berbagai miniatur dari anatomi manusia. Ia menatap tertarik pada miniatur organ mata. Ia menarik sebuah kursi dan duduk tepat di depan model anatomi tersebut.
"Ini kornea, ini iris, ini konjungtiva," dia bergumam pelan seraya menunjuk bagian-bagian mata itu.
"Lo ngapain?" Dia yang sedang berkonsentrasi pada dunianya sendiri, terjingkat kaget. Matanya mencari seseorang yang bertanya itu. Di sana, bersender pada pintu laboratorium dengan memasang wajah penasaran.
"Suka-suka gue lah mau ngapain," dia berdiri dari duduknya dan menuju pintu laboratorium. "Lo ada urusan ke lab?"
"Lah? mentang-mentang gue anak Ips terus gue gak boleh ke lab gitu?" cerocosnya.
"Boss udah boss, kite cuss kantin ajeee." Cowok yang berada di sampingnya menahan lengan temannya itu.
"Bentar, dulu."
Cowok itu mengulurkan tangannya dan sedikit membungkuk, "Perkenalkan gue pangeran Smasta, Bida Ashraf Rashad dari kelas kebanggaan kami bersama, sebelas Ips lima. Berhubung lo cantik, jadi tenang aja Instagram lo pasti langsung gue follback kok."
"HAH?!" Dia menatap tangan yang dijulurkan itu dan menepisnya.
"MAMPUS ANJIR HAHAHA LUCU BANGET." cowok yang berada di sampingnya itu tertawa keras dan memukul pundaknya berkali-kali. "PERKENALKAN GUE PANGERAN SMASTA. Apaan itu anjir? HAHAHA."
Jonathan Setyo Adi, itu nama cowok yang tertawa keras tersebut, bagaimana ia tahu? berhubung ia memakai rompi yang terdapat bet namanya.
Cowok yang tadi memperkenalkan namanya itu memiting kepala Jojon tanpa menyadari perubahan ekspresi wajah dari orang yang ia ajak berkenalan tersebut.
"Jadi lo beneran Bida ya?" cewek itu mengatakannya dengan pelan namun, tetap dapat terdengar oleh orangnya.
"Apaan?" Bida melirik ke bet nama cewek itu. Matanya membelalak terkejut.
Jojon melepaskan tangan Bida yang melingkari lehernya. Ia maju dan ikut memperkenalkan diri, "Gue Jonathan yang paling KECE dari yang terkece sekalipun,"
"Dan lo, Kerana Assima? Bener?" Jojon menunjukkan senyum terbaik yang ia punya -itupun hanya anggapan dari diri sendiri- ia mengulurkan tangannya.
Kerana tersenyum tipis atas perkenalan barusan. Ia menyambut tangan Jojon. "Kita jadi temen ya Kerana hehehe, tapi... gue manggil lo gimana ya?"
Bida berucap dengan nada merendahkan, "Panggil aja KERA atau KERAN, soalnya dia UUUKK AAAA nya jago banget. Ya gak Kera?"
Ucapan Bida cukup membuat Kerana menggeram kesal, Jojon terheran, dan Bida yang menjadi tertawa hebat atas perkataannya sendiri.
****
-alca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bida Kerana
Teen FictionBida dan Kerana. Bida itu complicated, banyak yang tidak sesuai dengannya. Kerana itu bagai ombak, mudah terbawa sana dan sini. Divaldi itu asap, ada namun sulit digenggam terkadang dia juga angin, menyejukkan. Dikelilingi berbagai persoalan di usi...