Bida memenuhi panggilan sekolah yang menggaungkan namanya melalui speaker. Cowok itu membenarkan posisi kerahnya yang berantakan, baju yang tidak dimasukkan ke dalam celana, menurunkan lipatan lengan baju dan terakhir merapikan rambut. Tipikal pelanggar aturan.
Bida mengetuk pintu ruang BK. Mendengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, ia membuka pintu perlahan. Di dalam, terdapat Asgar dan beberapa temannya. Bida melengos melewati mereka.
"Duduk Bida!" Perintah Bu Ratu. Bida duduk di kursi sebelah Asgar. Beliau menatap Bida dan Asgar bergantian.
"Saya harap ini terakhir kalinya saya berbicara seperti ini kepada kalian. Kalian sudah SMA, harusnya tahu bagaimana seharusnya peraturan itu."
"Iya, Bu," Patuh keduanya.
"Saya gak salah sepenuhnya, Bu. Jangan kayak saya yang salah sendirian di sini, Bu. Gak adil dong," ucap Bida dengan rahang mengeras dan tangan yang terkepal erat.
Asgar melirik ke sampingnya. Tidak susah untuk menebak ego orang di sebelahnya ini. "Saya salah juga kok, Bu," jelasnya menghentikan pembicaraan.
Bu Ratu mengangguk mengiyakan. Dengan beberapa perdebatan lagi, Bida dan Asgar diijinkan keluar dari ruangannya.
"Gua yang piloks," ucap Asgar memulai pembicaraan. Mereka berjalan menuju tujuan yang sama. Tidak enak kalau situasi canggung-canggungan.
"Bukan Yayan atau siapapun itu," lanjutnya. Menunggu reaksi Bida yang langsung menatapnya dengan raut wajah marah.
"Gua udah nonjok dia," desis Bida.
Asgar terkejut mendengarnya lalu terkekeh pelan. "Lo pasti kepikiran anak-anak yang lain kan? Maksud gue pandangan mereka ke lo?"
Bida diam tidak menjawab.
"Kenapa sekarang lo gak nonjok gue aja? Yang tadi kan gak jadi keburu ketauan Pak Amin."
Bida tertawa. "Gak usahlah kasian tangan gue."
Asgar mengangguk paham. Laki-laki ini telah memaafkannya.
Asgar dan teman-temannya berbelok berpisah dengan Bida yang langsung menuju kantin. Bida menemukan teman-temannya yang berada di pojokan kantin. Kelihatan sekali hasil usiran dari kelas. Mereka membawa gitar yang pasti curian dari ruang musik.
"WOI BID!!" Panggil seseorang. Bida menoleh mencari siapa yang memanggilnya.
"Itu di atas pohon," unjuk Randi. Spontan Bida mendongak ke atas dan terbahak setelahnya.
"Tolol temen lo, Nu," Randi menuduh Manu yang tertawa.
"Lah kok gue?!" Manu tak terima.
"Kenapa tuh anak di atas pohon? Nyari pisang? Salah pohon kalo gitu." Bida tertawa semakin terbahak sampai memegangi perutnya yang mulai terasa sakit.
Jojon melihat teman-temannya yang sibuk menertawakannya. Ia kalut. Ia tahu cara naik tanpa berani untuk turun. Jojon gemetar, kakinya mencoba menginjak ranting untuk turun. Namun, ranting itu patah saat ia menginjaknya. Membuat cowok itu semakin gemetar.
"Woi tolongin plis. Gue sekarat di atas. Turunin gue tolong," wajahnya mulai pucat, keringat pun bercucuran.
Andai tadi ia tidak bertemu Tata, pasti sekarang ia sedang meminum es teh sambil mendumel bagaimana tadi ia diusir dari kelas. Andai ia tidak melihat Rachel pasti ia akan memilih tempat pelarian yang lebih baik daripada pohon mangga ini.
Andai Rachel tidak secantik itu..."Loncat aja, Jon," Saran Randi. Membuyarkan imajinasi Jojon yang makin melenceng.
"TINGGI GOBLOK."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bida Kerana
Teen FictionBida dan Kerana. Bida itu complicated, banyak yang tidak sesuai dengannya. Kerana itu bagai ombak, mudah terbawa sana dan sini. Divaldi itu asap, ada namun sulit digenggam terkadang dia juga angin, menyejukkan. Dikelilingi berbagai persoalan di usi...