🌰PROLOG🌰

6.7K 244 121
                                    

Aroma busuk memenuhi udara. Cairan merah kental berceceran di tanah yang lembab dan basah. Sensasi dingin yang tak biasa pun berembus di antara pepohonan.

Cairan merah kental itu berhenti dan terus menetes dari atas rerimbunan pohon tidak jauh dari rumah warga. Tanpa disadari oleh sekelompok lelaki yang berjaga di sekeliling rumah yang terbuat dari kayu.

Namun, aroma menyengat dari cairan merah kental itu terendus seorang pemuda. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar sembari mengusap tengkuknya.

Sensasi dingin yang dirasakan si pemuda pun tak ayal dirasakan juga oleh warga lain. Tapi, mereka mengindahkannya. Mereka masih sibuk dengan percakapannya masing-masing. Sementara di dalam rumah terdengar suara wanita merintih dan wanita lain yang berusaha menenangkannya.

Pemuda tadi bergerak menuju pepohonan, aroma menyengat pun semakin memenuhi paru-parunya. Tapi, ia terus melangkah meski jantungnya tidak lagi berirama. Langkahnya sengaja ia buat sepelan mungkin, hingga nyaris tak terdengar telinganya sendiri.

Pemuda itu pun melihat tetesan cairan merah kental di tanah. Cairan itu terbias cahaya lampu pijar dari teras rumah. Aroma tidak sedap dari cairan itu semakin menusuk indera penciuman si pemuda.

Pemuda itu mendongak perlahan mencari sumber cairan busuk tersebut. Maniknya membelalak ketika ia melihat rangkaian isi perut dari dubur, usus, lambung, pangkreas, jantung, paru-paru, hingga tenggorokan tergantung dari sebuah kepala yang melayang. Kepala itu berambut panjang hingga sebatas paru-parunya. Mata merah menyala dari si kepala menatap awas ke arah rumah, tidak menyadari keberadaan si pemuda yang terpaku menatapnya di bawah sana.

"Kuyaaang ...!" teriak si pemuda.

Kontan saja itu membuat si kepala menatap ke arahnya. Manik merah menyala itu tampak sangat terkejut. Kepala itu pun melayang pergi menjauhi si pemuda menuju rerimbunan kebun karet.

Warga pun berlarian mengejar si kepala terbang. Sementara manik merah si pemilik kepala tadi mendelik gelisah sembari terus terbang, menjauh dari kejaran warga.

Namun, warga yang sudah geram dengan ulah makhluk itu terus saja mengejarnya. Obor dan senter berkilat-kilat di tangan iring-iringan pengejar itu.

"Kejar terus! Jangan sampai lolos!" teriak seorang lelaki berkumis. Di tangan kiri lelaki itu sebuah obor dengan lidah api menjilat-jilat udara, sementara di tangan kanannya terhunus sebilah parang yang berkilat memantulkan cahaya obor. Lelaki itu berlari di garda terdepan.

Warga terus saja mengikuti arah terbang kuyang, tanpa mereka sadari makhluk itu justru membimbing mereka ke sarangnya. Tempat di mana kekuatan gaib lebih dari manusia.

Sinar obor dan senter terus membelah kegelapan. Beriringan di jalan setapak pematang sawah. Hanya ada tiga warga yang bertahan di ujung kebun karet. Tiga pemuda itu tampak ragu untuk melanjutkan pengejaran.

"Bagaimana ini, Rus?" tanya pemuda dengan celana pendek dan hanya mengenakan kaos kutang.

"Entahlah," jawab yang bercelana panjang yang tidak mengenakan baju. "Iwan kayak lihat sesuatu." Ia mendelik pada pemuda di depan mereka.

"Bahaya, Rus," ujar Iwan. Ia berbalik menatap dua kawannya. "Kuyang itu menuju Telaga Kuyang, Mat." Ia menatap pemuda bercelana pendek.

"Memangnya kenapa, Wan?" tanya Amat.

Baru Iwan membuka mulutnya untuk memberi penjelasan, lengking pekikan bergema dari iring-iringan warga pengejar kuyang tadi. Ketiganya pun menatap ke depan, mencari iring-iringan yang mereka ikuti tadi. Tapi, tidak ada apa pun. Tidak ada lagi obor ataupun cahaya senter.

Hanya lengkingan. Lengkingan nyaring,  panjang, dan banyak. Terdengar penuh kesakitan.

Amat sudah akan menyusul ke arah teriakan itu. Tapi, tangan Iwan menghentikan niatnya, pemuda yang pertama kali melihat kuyang itu mencengkeram bahu Amat. "Jangan, Mat!"

"Tapi, Wan Ayahku ada di sana!" teriak Amat.

"Mat, kamu tidak tahu betapa angkernya Telaga Kuyang? Bukan hanya Kuyang yang ada di sana!" balas Iwan.

"Persetan!" Amat pun menepis tangan Iwan, ia berlari membelah kegelapan.

"Rus, Kakakmu ada di sana juga, kan?" tanya Iwan pada Rusli yang mematung di belakangnya.

"Y-ya ... Wan ... Wan ... Wan ...!" Rusli menarik-narik kaos oblong Iwan. Matanya mendelik ke rerimbunan pohon tidak jauh dari mereka.

Iwan pun menatap ke arah pandangan Rusli. Di sana terjuntai seisi perut berlumuran darah.[]















LA, 20 November 2018

Telaga KuyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang