🌰Tiga🌰

3.2K 138 194
                                    

Sambil baca, buka mulmednya yas!

🌰

Dari wajah noni Belanda itu meleleh cairan nanah bercampur darah, dari bagian mata dan hidungnya. Begitu ia membuka mulut, cairan merah kehitaman yang tampak kental menyembur hingga membasahi ubin. Nanah di bagian mata pun semakin deras, hingga salah satu matanya keluar dari kelopak. Tapi, bola mata itu masih menggantung di pipi pucatnya dengan urat-urat kebiruan yang menopang.

Sesaat Iwan dan Rudi membeku di tempatnya. Tapi, seolah diberi aba-aba entah dari mana, kedua pemuda itu serempak membalikkan badan dan berlari tunggang langgang. Kedua pasang kaki itu menyusuri jalan setapak yang tadinya mereka lewati di belakang si noni Belanda.

Namun, Rudi menabrak salah seorang wanita berambut panjang. Membuat Iwan turut menghentikan langkah untuk membantu wanita itu bangkit. Tapi, saat tubuh wanita itu kembali berdiri di atas kakinya, kepalanya masih tergeletak di dekat kaki Rudi. Kontan saja Rudi berusaha memungut kepala tersebut dengan tangan gemetaran. Belum sempat kedua tangannya menyentuh kepala berambut panjang itu, kepala itu membalikkan dirinya sendiri hingga tampaklah mata si wanita yang mendelik lurus ke arah Rudi. Membuat pemuda itu membelalak, dengan posisi jongkok ia mulai mengeluarkan air seni tanpa bisa bergerak sedikit pun.

Tubuh si wanita yang masih dalam bimbingan tangan Iwan bergetar hebat. Membuat nyali Iwan semakin ciut. Tapi, sulit baginya melepaskan kedua tangannya dari tubuh itu. Ia justru hanya bisa memandangi cairan merah kental dan dingin menyeruak dari sisa batang leher si wanita. Cairan itu melesak semakin deras dan membasahi kedua pemuda yang tidak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya tersebut.

"DINGIN!!!" teriak Iwan dan Rudi bersamaan.

Kedua pemuda itu mendapati diri mereka duduk menjuntai di sebuah teras rumah yang terbuat dari kayu. Kabutnya embun pun tidak menghalangi sinar mentari di musim kemarau menerpa tubuh basah keduanya.

"Dingin ya?" tanya suara wanita, membuat Iwan dan Rudi kembali membeku di tempat.

Kedua pemuda itu sontak memandangi tubuh masing-masing yang basah kuyup. Lalu, menoleh ke sumber suara. Di sana, hanya beberapa jengkal dari Iwan berdiri mamanya Ben dengan ember hitam kosong di tangan kirinya. Mata mamanya Ben memancarkan kemurkaan ke arah keduanya.

"Kalau mabuk, jangan tidur di teras orang!" omel mama Ben. "Kayak enggak punya rumah aja, tidur kok di sini!" Dengan seringai sinisnya mama Ben masuk ke dalam rumah dan menutup pintu yang ada di belakangnya tanpa peduli dua pemuda yang tidak sengaja menginap di terasnya itu masih melongo dengan tubuh menggigil.

Iwan dan Rudi saling tatap. "Apa aku bermimpi?" gumam Rudi.

"Mimpi apa?"

"Entahlah ... kurasa tadi kita mengikuti seorang gadis hingga ke seberang sana." Rudi menunjuk jembatan gantung.

"Kita mengekorinya hingga ke belakang rumah Mama Upik, terus saja lurus di tengah-tengah perkampungan tidak biasa dengan padatnya penduduk yang tampak seperti ...." Iwan mencoba melanjutkan.

"Zaman dulu," potong Rudi.

"Lalu gadis itu ...." Iwan tidak kuasa melanjutkan kalimatnya.

"Matanya lepas, ada danur, dan darah dari ...." Rudi bergidik.

"Ah! Apa mungkin kita bermimpi bersama?" gumam Iwan lebih ke dirinya sendiri.

"CEPAT PERGI!!!" hardik mama Ben yang tiba-tiba membuka pintu kembali lengkap dengan sebilah sapu di tangannya. Membuat kedua pemuda itu tersentak dan mau tidak mau beranjak pergi.

🌰🌰🌰

"Iwan mana, Cil**)?" tanya Ahyar pada mamanya Iwan di teras rumahnya.

"Tidur," jawab mama Iwan sambil menebarkan beras pada ayam-ayam yang sejak tadi mengerubunginya dengan tatapan lapar.

"Tidur? Baru jam sebelas siang," kata Ahyar.

"Semalam ronda kayaknya, dia baru pulang tadi pagi," jelas mama Iwan.

"Oh, nanti aku ke sini lagi deh, Cil," ujar Ahyar seraya berlalu kembali ke motornya.

Sementara mamanya Iwan yang mulai renta itu kembali melanjutkan aktifitasnya memberi makan ayam di teras. Semua tampak biasa saja. Tapi, sesekali wanita itu mengusap tengkuknya yang beberapa kali terasa dingin. Tanpa ia sadari ada sepasang mata yang memerhatikan dirinya dari kejauhan.

"Ma!" panggil Iwan dengan suara serak dari dalam rumah.

"Mama lagi kasih makan ayam," jawab wanita tua itu.

Iwan pun ke teras untuk menemui sang mama. Ia hanya mengenakan celana pendek dengan rambut berantakan. Tapi, langkah pemuda itu terhenti di depan pintu. Mata cokelatnya lurus ke arah jalan gang, beradu tatap dengan mata lain yang sejak tadi berada di sana.

"Kamu lapar?" tanya mama Iwan tanpa mengalihkan pandangan dari gerombolan ayam lapar.

Iwan diam saja, hanya suara-suara lapar ayam yang memecah keheningan. Hingga mama Iwan menegakkan punggungnya dan menatap Iwan yang masih terpaku di tempat. "Wan!"

Si pemilik mata hitam di sana menyunggingkan senyum misterius, lalu membalikkan badan, dan pergi dengan langkah santai. Sementara Iwan masih di sana dengan seribu tanya di benaknya.

"Ngapain liat-liatan sama si Inur, Wan?" tanya mama Iwan.

Iwan tersadar, ia menatap sang mama dengan tangan belepotan pakan ayam. "Mama udah masak?" tanya Iwan tanpa berminat menanggapi pertanyaan mamanya.

"Udah, kamu cari aja di dapur," timpal sang mama. Wanita renta itu pun menuju belakang rumah untuk membereskan peralatan yang digunakannya tadi.

Iwan beranjak ke dapur, sesekali kaki panjangnya membuat bunyi kurang enak di telinga hasil pergesekan lantai rumah reot mamanya. Pikiran Iwan pun melayang pada Inur.

Kenapa dia di sana?

Tangan Iwan mulai sibuk memindahkan nasi dari penanak ke piring.

Berapa lama dia di sana?

Ikan gabus rebus sudah menghiasi nasi putih Iwan dengan kuah kekuningan.

Ada apa dengan senyuman dan sorot matanya?

Iwan duduk di lantai siap bersantap. Tapi, sang mama muncul dari pintu belakang. "Cuci tangan dulu, Wan."

Iwan hanya menyunggingkan cengiran dan beranjak ke tempat pencucian piring sang mama. Ia mengambil gayung dan mulai mencuci kedua tangan. Tapi, ia merasakan ada hawa lain sepeninggal sang mama kembali ke luar rumah. Refleks saja Iwan menoleh ke pintu yang ditinggalkan mamanya dalam keadaan terbuka. Seketika Iwan meneguk saliva, kembali terpaku di tempatnya berdiri, matanya menatap lurus ke pohon aren yang hanya berjarak beberapa meter dari pintu belakang rumahnya.

Di sana tergantung kepala dengan rambut hitam panjang, wajah pucat, darah memenuhi mulut hingga menetes ke dagu. Sementara di bawah sisa lehernya menjuntai tenggorokan, paru-paru, limpa, dan seisi perut lainnya hingga usus yang juga berlumuran cairan merah kental. Sedangkan di matanya menetes butir-butir cairan bening dengan isakan yang menyayat hati Iwan. Alih-alih membuat Iwan jijik, takut, kemudian berlari, air mata itu justru menerbitkan rasa iba.[]








**) Cil singkatan dari Acil bahasa Banjar yang artinya Tante.



LA, 02/09/19

Telat 2 hari dari janji, maafkeun ✌

Telaga KuyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang