Bab 169-Mendengar Suara Ganjil

2.2K 36 0
                                    

Setelah menunaikan sembahyang asar, saya terus berlegar-legar dalam bilik surau. Datuk membaca al-Quran, Haji Basilam terus berwirid panjang. Andi Kamarool baring terlentang di bucu surau, sepasang matanya merenung siling surau. Barangkali dia sedang pasang angan-angan tentang Mia agaknya.

Agaknya dia sedang membayangkan dirinya berjalan berdua-duaan dengan Mia di padang lapang. Mereka berkejar-kejaran, berjatuhjatuhan di tanah lapang. Saling gelak ketawa. Biarlah Andi Kamarool dengan dunianya, bisik batin saya sambil mengeliat.

"Hummmmm......."

Saya menoleh ke arah Andi Kamarool yang mengeluh. Kedudukannya sudah berubah, kalau tadi dia menelentang kini dia meniarap pula. Datuk dan Haji Basilam masih seperti tadi.

Saya berubah tempat dari penjuru sebelah kanan, bergerak ke penjuru kiri. Dan pada saat itu sepasang mata saya tertumbuk ke arah beberapa keping sejadah yang tersangkut di dinding. Sesungguhnya, saya tidak berminat dengan sejadah yang dilipat tiga segi serta ditindih dengan anak lesung batu. Terletak betul betul dibawah jendela yang daunnya tertutup rapat.

Kerana kedudukan nya terasing dari sejadah-sejadah yang lain dan ditindih dengan anak lesung batu pula, membuat saya tidak sabar-sabar untuk melihat rupa dan bentuk sejadah tersebut. Tanpa mahu membuang masa, anak lesung batu saya tolak, sejadah yang berlipat tiga terus ditarik dan dibentangkan atas lantai.

Bila sejadah terhampar di depan mata, saya terlihat potret harimau. Badan harimau berwarna kuning dengan belang-belang hitam berlatar belakangkan pepohon yang menghijau segar. Saya tatap potret muka harimau untuk beberapa saat dan saya rasa sepasang telinga dan matanya bergerak. Dan pada saat itu juga, seluruh urat saraf terasa lemah, darah jadi gemuruh dan perasaan jadi gementar.

Saya renung ke arah datuk, Haji Basilam dan Andi Kamarool, semuanya tidak merenung ke arah saya. Cepat-cepat sejadah aneh itu saya lipat tiga kembali, lalu saya tindih dengan anak lesung batu. Tempat itu segera saya tinggalkan, bergerak perlahan-lahan ke arah Andi Kamarool.

Buat beberapa saat, saya terpaksa duduk bersila di hujung kepala Andi Kamarool untuk menenangkan perasaan dan menghilangkan darah gemuruh yang berlari dalam urat saraf. Bila perasaan kembali normal, saya segera mendekati Haji Basilam yang secara kebetulan sudah selesai wirid.

"Kenapa muka kamu nampak cemas Tamar?"

"Tak adalah, saya macam biasa."

"Kalau begitu, aku yang salah pandang," kata Haji Basilam sinis.

Debar hati di kala itu hanya Allah saja yang tahu. Haji Basilam bangkit dari duduknya.

Kerana merasa tidak selesa, Andi Kamarool terus duduk dan kemudian berdiri. Datuk menutup Quran dan meletakkan di atas rak. Haji Basilam melangkah ke tengah surau dengan diikuti oleh datuk. Mereka berhenti di situ.

"Sekarang kita pergi ke rumah lain, kita bermalam di situ," kata Haji Basilam kepada datuk.

"Ayuh, kita pergi sekarang," balas datuk sambil melemparkan pandangan ke arah saya dan Andi Kamarool.

Kami (saya, Andi Kamarool dan datuk) dibawa oleh Haji Basilam menuju ke sebuah rumah yang terletak di sebelah kanan rumah batu besar, jaraknya, dengan rumah batu besar, kira-kira sepelaung saja. Dengan tenang, Haji Basilam membuka pintu..

"Naiklah," katanya dari ambang pintu.

Datuk pijak anak tangga dengan teliti dan akhirnya tubuh datuk hilang ditelan pintu rumah. Saya dengan Andi Kamarool saling berpandangan, siapakah yang harus naik dulu? Saya atau Andi Kamarool.

Lapang rasa dada, bila Andi Kamarool mendahului saya memijak anak tangga rumah. Saya mengekori dari belakang. Kalau ada bencana, pasti Andi Kamarool menerima risikonya terlebih dahulu dan saya masih ada kesempatan untuk mengelak atau cabut lari.

Siri Bercakap Dengan Jin, Tamar Jalis ( Jilid 13 )(COMPLETE)Where stories live. Discover now