2

39 5 0
                                    

Bulan demi bulan Rania jalani, sedikit banyak memaksa Rania untuk menjadi terbiasa.

Kadang Rania masih rindu kampung halaman.

Aceh.

Tempat yang selalu Rania rindu tiap jengkalnya.

"Rania!" Ustadzah Fatimah membuka pintu kantornya, dengan wajah riang tersenyum.

"Ada apa ustadzah?"

"Saya tidak salah kan tetap mempertahankan kamu disini?"

"Wah random sekali." pikir Rania.

"Kamu berubah cepat sekali Rania, seperti dugaan saya, jadi yang terbaik."

Pengeras suara berbunyi.

"Mohon perhatian kepada peserta olimpiade biologi untuk segera berkumpul didepan lab biologi." Menggema di seantero asrama.

Cepat-cepat Rania berlari melewati ruangan-ruangan, lalu sampailah ke sebelah asrama putra, keramaian disana membuat Rania memperlambat langkah kakinya. Terdengar suara mereka ramai menjemur baju.

"Ukhtiii!"

"Ih jual mahal banget sih."

"Aduh mau kemana ini?"

"Aduh jutek banget sih!"

"Ukhti saya mau ke rumah bulan depan!"

Rania bukan tidak pernah digoda sebelumnya, paras Rania yang bisa dibilang manis sudah cukup beralasan. Tapi jelas Rania risih digoda sendirian, di lingkungan asrama pula.

Belum selesai langkah kaki Rania melewati jalan sebelah asrama putra, terbang sebuah sarung yang entah kepunyaan siapa, sarung berwarna coklat tua setengah basah lengkap dengan semerbak pewangi pakaian tepat sekali menempel di wajah memerah Rania.

Dingin.

Tapi Rania dongkol sekali. Dilemparnya sarung basah itu entah kemana. Lantas berlari ke toilet. Samar-samar ia mendengar suara riuh yang menyusul ketika ia berlari, setelah mereka hening sejenak melihat Rania dihinggapi sarung basah.

Sesampainya di toilet Rania refleks mencuci wajahnya dengan air. Sarung itu jelas sukses membuat suasana hati Rania berantakan seketika.

"Kenapa Rania?" Lala menoleh ketika Rania membuka pintu kamar asrama.

"Bukannya tadi ada kumpulan?" Abi melipat bajunya, ikutan menoleh.

Rania bungkam, mendaratkan tubuhnya diatas kasur.

====

Sebulan sejak kejadian sarung terbang itu, Rania nyaris tidak bercerita kepada siapapun, terkecuali Abi. Bukan apa-apa, kejadian itu cukup memalukan bagi Rania. Rania masih terima kalau hanya sekedar digoda. Tapi kalau sarung setengah basah? Jangan tanya.

"Ran, ke kantor media yuk, mau kasih laporan ke Ustadzah Zainab" Abi mengamit tangan Rania, bergegas ke kantor media.

Seenaknya saja Abi, meninggalkan Rania dua jam di kursi tunggu, dengan banyak urusan Abi yang Rania tidak tahu persis. Rania berakhir dengan majalah pesantren, lantas melihat-lihat gambarnya.

"Assalamualaikum." suara teduh menyapa Rania, asing. Entah siapa.

"Waalaikumsalam." Rania lantas mengangkat wajahnya, mengernyitkan dahi.

"Siapa?" sontak Rania bertanya. Orang yang berdiri di depannya ini tidak familiar. Tidak pernah Rania lihat malah.

"Irtiza. Saya minta maaf ya ukhti, tidak sengaja."

"Ran! Ayo udah selesai!" Abi langsung menarik tangan Rania keluar dari kantor media. Rania terseok-seok mengikuti langkah Abi, sambil menoleh ke belakang. Ke arah laki-laki asing tadi.

"Tunggu Abi!" Rania berhenti setelah sampai di halaman kantor.

"Apa?" Abi berhenti.

"Tadi ada yang minta maaf." Rania berusaha mengingat.

"Siapa? Minta maaf kenapa Ran?"

"Nggak kenal Bi. Tiba-tiba dateng minta maaf"

"Loh kok aneh?" Abi sukses kebingungan.

====

IrtizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang