Irtiza

5

Sore ini, Rania dan Abigail memutuskan untuk bertemu setelah dua tahun hanya bertukar kabar lewat media sosial.

"Irtiza gimana?" Pertanyaan Abi setelah mengobrol ringan tadi membuat Rania diam sejenak. Teringat kejadian diruang olimpiade dua tahun lalu.

"Loh ya nggak gimana-gimana. Kan orangnya juga di Turki." Rania santai meneguk shake yang dipesan.

"Belum taaruf kalau aku denger Ran." Kata Abi menggantung.

"Ya terus?"

"Kamu suka kan Ran sebenernya?" Kata-kata Abi membuat Rania tercekat.

Rania tidak bohong.

Irtiza memang menarik.

Sejujurnya Rania juga pernah berpikir hal yang sama, tapi cepat di buang jauh-jauh. Memang, sebelum ke Turki, Irtiza sempat mengikuti Rania di media sosial.  Tapi hanya sebatas itu.

"Irtiza nitip ini ke calonku, mereka kan temenan, katanya suruh kasih ke kamu." Abi mengeluarkan amplop putih yang rapat tertutup.

====

Rania membuka amplop, menghela nafas lalu menarik kertas didalamnya.

Assalamualaikum, ukhti.

Saya, Irtiza, ingin mengakui kesalahan saya yang telah menjadikan ukhti bagian dari dosa-dosa saya selama ini.

Soal sarung beberapa waktu silam, saya tidak menyangka, sarung itu yang menjadi gerbang pertemuan saya dengan Ukhti, yang tidak lama membuat pertahanan saya runtuh, kemudian saya jatuh hati.

Saya tidak bermaksud untuk meneruskan dosa-dosa saya, Ukhti. Oleh karena itu, saya ingin berkomitmen dengan Ukhti, untuk menyempurnakan separuh dari agama kita masing-masing, dan mencari keridhoan Allah bersama-sama.

Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal untuk Ukhti, tapi saya berjanji, tidak akan ada sarung-sarung lain yang membuat wajah Ukhti sukses memerah menahan kesal.

Apabila Ukhti berkenan, Idul Fitri ini saya pulang ke Indonesia. Kita bisa melaksanakan komitmen yang saya tawarkan tadi. Untuk jawabannya bisa disampaikan lewat Ayah Ukhti sendiri.

Wassalamualaikum

Irtiza Rashaad Alfarezi.

Sempurna!

Rania tidak bisa berkata-kata. Bisa-bisanya Irtiza main rapi begini.

Tapi Rania jawab apa?!