3

31 6 0
                                    

"Ran!" Abi menarik selimut Rania brutal.
"Hari ini Olim!"

Mata Rania sontak membulat ketika melihat sosok asing beberapa bulan lalu.

Dia duduk di kursi depan.

Hening.

Soal-soal dibagikan.

Rania sungguh-sungguh mengerjakan.  Dalam 30 menit, 100 soal sudah selesai Rania kerjakan. Rania berakhir terkantuk-kantuk dengan pensil dan kertas di tangan.

"Maaf." Suara itu lirih sekali.

"Siapa yang tadi ngomong?" Batin Rania.

"Mimpi Rania!" Rania menepuk jidat, lantas mengumpulkan lembar jawaban.

====

"Ran keren banget bisa juara gitu!" Abi antusias setelah mendengar pengumuman.

"Bukan aku juara satunya Abi" Elak Rania.

"Iya tapi kan kamu juara juga Ran"

Rania membolak-balik majalah pesantren. Terpampang wajah Rania tersenyum memegang piala. Bersebelahan dengan foto Irtiza memegang piala yang lebih besar.

Irtiza Rashaad Alfarezi.

Sang ketua kelas, ketua rohis, dan juara bertahan.

Begitu yang tertulis di majalah.

"Orang kayak gini yang dengan nggak sopannya nerbangin sarung?" Rania bergidik ngeri.

"Lagi ngapain Ran?" Abi tiba-tiba beringsut ke sebelah Rania.

"Ih Iza!" Refleks mata sipit Abi melebar.

"Kok tau ini Iza?"

"Ya tau lah. Iza yang ini yang nerbangin sarung waktu itu?" Abi membaca seksama artikel tentang Irtiza.

"Ya iya kayaknya." Rania mengangguk tak acuh.

====

Waktu berlalu cepat.

Rania sering bertemu Irtiza setelah itu, di olimpiade, di kantor Ustadzah Fatimah, dan di banyak tempat lainnya, berkali-kali juga Rania dengar kata maaf yang diucapkan lirih. Akhirnya Rania tahu kalau Rania nggak ngelindur, sewaktu mengerjakan soal.

"Abi!" Rania bergegas menemui Abi yang asyik mengambil mangga di depan asrama.

"Apaaaa?" Abi manyun, menaruh galah.

"Irtiza lagi." Potong Abi sebelum Rania membuka mulut.

"Aduh kenapa masih minta maaf sih Irtiza-Irtiza itu?"

"Ya nyesel kali." Celetuk Abi asal.

IrtizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang