4

20 7 2
                                    

Setahun berlalu cepat.
Entah sudah berapa kata maaf yang diucapkan Irtiza.
Rania sampai muak sekali.

Tidak terasa, tahun ini tahun terakhir Rania di pesantren.

"Bingung, kok enteng sih kamu, Ran ninggalin pesantren?" Lala menyusuri kasurnya dengan jari tangan.

"Cuma nggak pengen pisah sama kalian aja sih." Ini yang Rania tunggu-tunggu. Bukan apa-apa, Rania hanya ingin bebas dari belenggu aturan a sampai z. Itu saja.

"Rania beresin ruang olim katanya!" Abi membawa sebuah kardus. Entah apa isinya.

"Ayo ah temenin!" Rania lantas mengambil sandal.

Rania dan Abigail sibuk membereskan ruangan olimpiade yang berserakan kertas, buku, dan perlengkapan lain.

"Assalamualaikum." Refleks Abi dan Rania menoleh, saling menatap.

Irtiza masuk, lantas mengambil beberapa buku, yang kelihatannya memang kepunyaannya.

"Maaf." Kata Irtiza didepan daun pintu.

"Maaf untuk apalagi sih? Soal sarung waktu itu saya sudah maafkan. Jadi berhenti minta maaf." Rania berubah dongkol. Muak sekali dengan kata maaf.

"Saya minta maaf, Ukhti. Karena selama ini sudah menjadikan Ukhti bagian dari dosa-dosa saya." Irtiza tetap menunduk tenang.

"Loh maksudnya gimana?" Rania menoleh ke Abi, yang otomatis menggeleng tidak tahu.

"Allah menjatuhkan hati saya sebelum waktunya Ukhti, Assalamualaikum." Irtiza keluar ruangan. Meninggalkan Rania dan Abi melongo.

"Gimana maksudnya?" Rania menaruh buku yang di pegangnya ke lantai.

"Jadi Irtiza jatuh cinta?" Abi masih melongo.

"Sama siapa?!" Bola mata bulat Rania refleks melotot.

====

IrtizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang