Namanya Alifa Nadine Zulaikha, usia tiga tahun tiga bulan. Anak pertamaku ini sedikit agak cerewet dibanding teman seusianya. Menurutku keingintahuannya besar, yang terkadang membuatku dan juga orang disekitarnya jadi gemas.
Kebiasaannya adalah dia tak mau jika dipanggil selain Nadine. Pernah suatu ketika aku mengajaknya ke toko mainan.
"Adek, ih ... lucu, rambutnya keriting kayak mie. Namanya siapa? tanya salah satu pelayan.
"Nadine," jawabnya singkat.
"Oh, Dek Nadine. Udah sekolah belum?"
"Namaku Nadine, bukan adek." Sambil merengut. Lalu membuang muka.
Aku menahan tawa. Pelayan toko itu juga ingin tertawa, tapi aku tahan dengan menutup mulutku dan mengecilkan mata kepadanya, sebagai tanda agar dia tak tertawa, karena aku tau Nadine tak suka bila ditertawakan.
"Nadine, udah sekolah belum?" tanya pelayan itu lagi.
"Aku belum sekolah kok, kan aku masih kecil." Jawab Nadine.
"Belum sekolah udah pinter ya, jadi gemes, ih ...."
"Nadine emang pintel."
***
Anak usia 0-5 tahun adalah masa emas, masa penting pertama terhadap lingkungan sekitar yang menstimulasi tumbuh kembangnya.
Sebagai orang tua, apalagi aku seorang ini, tak ingin melewatkan masa dimana dia butuh perhatian yang sangat besar. Mencurahkan serta mendidik dari kecil tentang lingkungan dan agama.
Siang itu aku menemani Nadine menonton televisi acara kartun kesukaannya, My Little Pony. Saat sebuah adegan dimana salah satu Pony yang bernama Apple Jack mengatakan 'ya ampun', Nadine bertanya padaku.
"Loh, Bu. Kok Pony ngomongnya ya ampun sih?" Alisnya mengkerut menandakan penasaran.
"Emang kenapa, Nad?" Aku bertanya kembali.
"Nggak boleh dong!" ucapnya tegas.
"Harusnya ngomong apa?" tanyaku sambil menahan senyum karena ekspresi wajahnya yang lucu.
"Bukan ya ampun, tapi Ya Alloh." Aku tersenyum. Bersyukur sekaligus gemas melihat ekspresi wajahnya yang tak terima. Hal sederhana, tetapi dia bisa protes seperti itu.
"Mungkin Pony belum tau." Aku berucap sambil membelai rambutnya yang keriting itu.
"Pony nggak ikut TPA ya, Bu?"
"Nadine, Pony itu cuma kartun, gambar animasi yang diciptakan manusia, bukan seperti kita. Allah menciptakan kita untuk selalu bersyukur. Maka dari itu, Nadine harus rajin berangkat TPA ke masjid ya, biar selalu dekat sama Allah. Nadine, paham?"
"Paham, Cikgu," jawabnya sambil mengangguk.
"Kok cikgu sih? Ibu dong." Pura-pura tak terima. Menggodanya membuatku selalu ingin tertawa.
***
Pernah juga pagi itu, ketika Nadine tak ada suara atau dia diam tak mengganggu kami, para orang dewasa, sudah pasti dia melakukan sesuatu yang ajaib.
"Nad ... Nadine!" Aku berseru.
"Dalem ...."
"Nadine dimana?" Aku mencari ke semua kamar.
"Kamar mandi, Bu."
Aku berlari menuju kamar mandi.
"Astaghfirullah ... Nadine, kamu ngapain?" Aku terkaget mendapatinya jongkok dan menunduk.
"Bersihin sandal, Bu," jawabnya tanpa melihatku.
"Ya Allah, Nad, pake sikat siapa itu?"
"Sikat gigi punyanya Ibu yang ada disitu." Jarinya menunjukkan wadah yang biasa untuk menyimpan sikat gigi.
"MasyaaAllah, Nadine ... itu sikat gigi Ibu baru beli dua hari yang lalu. Ya Allah Nadine." Ucapku kesal, tapi memang tak bisa marah sama sekali.
"Hehe ...." Terus menggosok sendalnya dengan serius.
***
Di suatu sore, lagi asiknya keluarga berkumpul menikmati weekend, sambil ngobrol juga melihat album foto lama. Kemudian Nadine ikut bertanya.
"Bu, ini kok Nadine ga ada to?" Sambil membolak-balikkan album foto itu.
"Ya, karena Nadine belum ada?" jawabku.
"Emang Nadine kemana to, Bu?" tanyanya lagi.
"Ya Nadine emang belum lahir."
"Oh ...."
'Kalo tanya lagi pasti bikin kringet dingin nih anak.' Batinku.
"Kalo belum lahir berarti masih disembunyiin Allah ya, Bu?" Masih penasaran.
"Iya, Nadine sayang." Gemas aku mencubit pipinya pelan.
"Oh ...." Mengangguklah dia.
"Trus, aku disembunyiin Allah dimana, Bu?"
'Ya Allah, astaghfirullah hal'adzim.' Sambil mengelus dada.
"Masih di atas pucuk bambu." Suamiku menjawab.
"Hahahaha ...." Semua yang ada di ruangan tertawa terbahak.
"Kamu belum dibikin, Nduk Nadine." Ucap salah satu keluargaku.
"Emang bikinnya gimana, Bu?" Nadine bertanya lagi.
"Huahahahahaa ...." Kembali tertawa seisi ruangan. Menjadi gaduh sore itu.
"MasyaaAllah, kamu itu, Nduk."
End.