Setiap hari aku melihatnya. Dengan pakaian rapi. Harumnya maskulin khas lelaki. Setiap pagi kecuali hari minggu. Sampai aku hafal makanan apa yang ia suka dan tidak.
Dia suka pedas, tapi tak suka minum manis. Dia suka sayur berkuah tapi tak suka minum dingin.
Di dekat jendela sana tempat duduk favoritmu. Aku selalu merapikannya sebelum dan sesudah dia datang.
Entah sejak kapan rasa ini ada. Debar di dada semakin kencang setiap dia mendekat. Aku salah tingkah, tapi mengulum senyum saat dia tersenyum. Ramah. Terkadang menganggukkan kepala menunjukkan kesopanannya kepadaku.
Seperti biasa, aku menyiapkan menu kesukaannya. Gudeg lengkap dan teh tawar hangat adalah permintaannya kemarin.
Saat memasaknya pun aku membayangkan senyumnya. Sama seperti potongan foto di salah satu akunmu.
Pagi ini dia datang tepat pukul delapan. Berpenampilan santai karena hari minggu, kaus abu-abu tua dan celana jeans sobek di bagian paha, tetap terlihat mempesona dengan sepatunya yang berwarna kecoklatan itu.
Dia berjalan mendekatiku.
"Sarapan ane ya, seperti yang ane bilang kemarin kan?" tanyanya sambil tersenyum manis.
"I_iya," jawabku gugup.
Aku segera mengambil sarapan yang dia minta, porsi sedang. Lalu menyajikannya di meja, sedikit gemetar saat menyuruhnya untuk makan. Dia tersenyum lagi.
"Makasih, Cin."
Tersenyum dan menunduk, "sama-sama."
Aku membalikkan badan, memejamkan mata dan memegang dada. Debar-debar ini tak kunjung reda dan terbiasa, bahkan semakin tak karuan iramanya, jika terlalu lama berada di dekatnya.
Beberapa menit kemudian, usai makan. Dia mendekatiku lagi.
"Ehm ... besok siapin nasi goreng telur ceplok sama teh anget lagi ya, tapi jangan tawar, tambahin gula sedikit." Pintanya padaku.
"Iya, Mas. Aku catat ya, biar ndak lupa," kataku sambil mencatat pesanannya di selembar kertas.
"Oke, gud. Jadi berapa semuanya?" Dia mengeluarkan dompet dari saku belakangnya.
"Gudeg lima belas ribu, teh tawar dua ribu lima ratus, tambah apa lagi tadi mas?" tanyaku sambil memencet kalkulator.
"Tempe mendoan dua sama kerupuk dua," jawabnya.
"Berarti total sembilan belas ribu lima ratus mas."
"Ini, kembaliannya buatmu saja." Dia tersenyum manis sambil memberikan uang kertas berwarna hijau. Dua puluh ribu.
Setiap pagi dia datang ke sini. Aku baru tahu namanya Levine sebulan lalu. Dia penulis. Banyak penggemarnya terutama ibu-ibu, remaja juga ada sepertinya.
Aku tahu tentangnya karena dia salah satu owner grup literasi yang aku ikuti. Beberapa kali stalking akunnya, dari FB, IG dan WP. Aku follow semuanya.
Namun, apalah aku ini. Aku sembunyikan rasaku sendiri, karena aku hanya seorang pelayan warteg yang sedang kasmaran.
'Sesungging senyum di wajahnya dapat mengalihkan duniaku'