Mengendap aku dan mbok Ayu keluar dari rumah. Untungya seperti biasa keadaan rumah sunyi tidak ada orang saat siang hari, semua orang berdiam diri di kamar masing-masing.
Aku memilih menyusuri jalanan baru. Jalan yang berbeda dari taman yang kemarin aku datangi, jalanan yang ku pilih hari ini sepertinya pusat perbelanjaan kota.
Para noni-noni dengan gaun cantik meminum teh di kedai bersama. Gaun-gaun mereka sangat indah. Ah, aku jadi membayangkan jika aku yang memakai gaun seperti itu. Berwarna-warni cerah, mengembang cantik dengan renda – renda menghiasinya, beberapa dari mereka juga memakai topi dan sarung tangan. Kaki mereka dibalut dengan kain penutup panjang berwarna putih lalu memakai sepatu yang memiliki gnajalan beberapa senti.
Pakaian yang mereka gunakan sangat kontras dengan milikku. Aku memang sudah tidak memakai pakaian selusuh saat aku pertama datang, sekarang aku memakai kebaya yang sebenarnya sudah cukup indah, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan para noni aku merasa sangat dekil. Aku merasa aku jauh di bawah mereka.Tentu saja karena aku ini pribumi. Orang-orang yang dianggap tidak berharga.
" Mbok Ayu, " tidak ada sahutan, membuat aku menengok ke kiri dan kanan.
Mbok Ayu tidak ada. Sepertinya aku terlalu asik mengamati jalanan dengan noni-noni cantik, sehingga aku hilang arah.
Matilah aku. Aku baru menyadari, aku berada di jalanan yang tak ku kenal. Aku tidak tau jalan kembali pulang karena sedari tadi aku hanya mengikuti mbok Ayu.
Aku bergegas menyusuri jalan mencoba mencari jalan kembali, tapi wangi roti yang baru matang mengalihkan perhatianku. Indraku mengikuti harum tersebut, sehingga aku berhenti di depan sebuah toko kue.
Biskuit yang dihias dengan gula-gula cantik menghiasi permukaannya. Beberapa keranjang roti ditaruh di etalase toko tampak sangat menggiurkan. Aku bisa merasakan perutku berbunyi minta diisi, baru ingat aku belum memakan apapun sejak bangun. Ingin sekali aku memakan roti -roti itu, tapi aku tidak mempunyai uang.
Seumur hidup belum pernah aku makan roti. Aku hanya pernah mencoba biskuit sekali yang diberikan tuan saudagar tempat keluargaku mengais nafkah. Itu pun bukan biskuit cantik seperti disini. Hanya biskuit kecoklatan tua yang terbuat dari gandum.
Sepotong roti tiba-tiba disodorkan di depan wajahku, apakah aku berhalusinasi sangking inginnya memakan roti?
" Untukmu, " suara si pemberi roti membuatku tersadar dari pikiran bodohku.
" Menir! " Jack memakai seragam serupa dengan yang tempo hari ia pakai.
" Panggil saja dengan namaku, apakah kau ingat?"
" T-tapi saya tidak pantas, " tolakku,aku menyadari derajat ku ini.
" Jika aku memaksa, Dewi? " balasnya tegas membuat aku langsung mengangguk. Jack memotong roti menjadi dua bagian.
" Baiklah, Jack. Terimakasih rotinya, " aku mengambil roti pemberian Jack.
" Makanlah, " Jack menggerakan tanggannya mempersilahkan aku.
Ternyata rasa roti ini memang seenak wanginya. Terasa lembut, berserat halus, gurih dan manis. Sangat kontras dengan ubi yang biasa aku makan di kampung.
" Het spijt me(30) " ibu jari Jack mengusap sudut bibirku membuat tubuhku seperti terkena sengatan listrik.
" Kau makan berantakan, " ia terkekeh.
Wajahku memanas, padahal cuaca Bandung siang ini harusnya cukup sejuk.
Kembali lagi aku larut dalam keheningan. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Perlakuan Jack masih membuatku salah tingkah dan seperti sebelumnya yang dilakukan Jack, ia hanya menatapiku lagi.
" Apa yang terjadi? "
" Apanya? " aku balas bertanya, tidak mengerti maksud pertanyaan Jack.
" Kau terlihat sedih hari ini, "
Sedih. Sedih. Sedih.
Kata itu tergiang kepalaku. Sebenarnya jika ada yang melebihi kata 'sedih' untuk menggambarkan keadaan jiwaku setelah kejadian kemarin mungkin kata itulah yang cocok.
Hatiku, jiwaku, mentalku semua yang ku miliki sudah direngut paksa.
" Kau memang sedang bersedih. "
Di otakku tiba – tiba terbesit suatu ide, mungkin Jack bisa membantuku keluar dari masalah ini.
" J-Jack, b-bisakah kau tolong aku? "
" Ada apa? "
" A-aku.." kalimatku tidak jadi selesai karena mbok Ayu tiba-tiba menghampiriku. Wajahnya pucat pasi bagai kertas.
" Neng, kita harus pulang! Sepertinya Arabella kembali lebih cepat! "
Wajahku ikut memucat. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari bersama mbok Ayu, ku tinggalkan Jack. Tak ku hiraukan suara Jack yang terus memanggilku di belakang. Aku mengikuti mbok Ayu menyusuri jalan kembali ke rumah merah dan benar saja, sebuah dokar terparkir di depan rumah, tapi ada dua. Aku mengenalinya satu sebagai dokar milik Arabella yang ia pakai untuk menjemputku dari kampung.
" Kembali mengulangi kesalahan? "
" Ampun, non. Ini salah sahaya," mbok Ayu bersujud di kaki Arabella, sedangkan si empunya hanya mendecih jijik.
" Diam kau babu! " kaki Arabella yang dibalut sepatu cantik menendang mbok Ayu.
Aku langsung pasang badan membantu mbok Ayu, hatiku terasa teriris melihat satu-satunya orang yang mempedulikan aku dengan tulus disini diperlakukan seperti sampah, " T-tidak, mbok Ayu tidak bersalah! "
" Aku tidak meminta pendapatmu! Sekarang kau sudah tidak tinggal disini lagi! "
" A-apa?"
" Kau akan ikut bersamaku ke Batavia,"
Tidak. Aku tidak mau. Tidak mungkin.
Mimpi burukku ternyata belum selesai dan sepertinya tidak akan pernah selesai dalam jangka waktu lama.
Chris keluar dari dokar asing itu.
" J-jangan! T-tidak ku mohon! " aku bersujud memeluk kaki Arabella memohon belas kasihnya.
" Lepaskan pelacur!" Arabella meludahi rambutku, tapi entah mengapa aku tidak jijik. Aku lebih jijik dengan diriku sendiri saat ini, melebihi apapun.
" Non, j-jangan bawa neng Dewi!- "
DOR
Duniaku berhenti untuk beberapa saat. Otakku mendadak berubah menjadi lambat, berusaha mencerna apa yang terjadi di depan mataku.
Merah.
" Je zult eindigen zoals hij als je me niet gehoorzaamt(31)!" Chris menitup moncong pistol di tangannya dengan santai seolah ia baru saja menembak burungdi hutan.
Tubuhku membeku melihat tubuh mbok Ayu yang sudah tidak bernyawa di lantai. Darah segar mengalir mengotori lantai. Chris menembaknya tepat di kepala.
Tidak pernah kubayangkan sekalipun aku akan melihat pembunuhan di depan mataku, aku tau kompeni itu jahat, tapi paling tidak di kampungku mereka tidak berlaku seperti ini.
Membunuh semudah itu, menghilangkan nyawa manusia bagai menginjak semut. Jiwa tidak berarti apa – apa.
Dan kini aku akan hidup bersama orang ini, mungkin menghabiskan sisa hidupku menonton lebih banyak darah lainnya berjatuhan dihadapanku. Selamat datang di sarang iblis.
30.Maafkan aku
31.Kau akan berakhir seperti dia jika kau tidak menurutiku
KAMU SEDANG MEMBACA
Gundik
Historical FictionBiarkan aku bercerita, Kalian mungkin akan berpikir ini adalah tragedi, tapi tanpa cerita ini aku tidak akan pernah bangga menjadi gadis pribumi Hindia Belanda. Jika aku bisa memilih, aku tidak mau lahir di dunia seperti ini. Begitu juga dengan kali...