DUA (a)

112 37 88
                                    

Yang berharga akan selalu tersimpan. Walau hanya selembar kertas.

****

"Ma, Kaniya berangkat. Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku mencium tangan Mama dan Papa, hanya untuk formalitas belaka. Mama mencium pipiku dengan sangat cepat. Sedangkan Papa hanya mengelus kepalaku, mungkin dua usapan saja.

"Kaniya berangkat, Nenek."

Iya, semua itu hanya formalitas di depan Nenekku saja. Mama dan Papa selalu begitu. Terlihat menyayangiku di depan orang lain, tetapi mereka tak mengindahkanku di depan Kinaya. Selalu, seperti kaset rusak yang nadanya terulang-ulang.

"Cucu nenek yang cantik, hati-hati di jalan. Sekolah untuk belajar loh, ya! Bukan untuk mencari Pangeran Berkuda Putih," goda Nenekku sambil mencubit halus pipiku.

"Nenek! Gak mau ah, Nenek jahat. Sakit tahu." Aku menjauhkan tangan Nenek dari pipiku. Tanganku kulipat di depan dada. Layaknya orang yang sedang ngambek.

"Kaniya, itu Nenek. Kamu gak boleh gitu, harus sopan," ujar Kinaya dengan halus.

"Iya, Kaniya gimana, sih? Sudah lupa ajaran Mama sama Papa soal sopan santun!"

"Maaf."

Aku menunduk, seolah-olah merasa bersalah. Padahal aku sangat suka keadaan seperti ini. Jika tak ada Nenek, mungkin aku sudah kegirangan mengambil kunci mobil, lalu menjulurkan lidah, dan berlari menuju mobil.

"Rania, kamu gak boleh gitu dong sama Kaniya. Dia itu anak kamu, kalau salah ya dinasihati secara halus. Bukannya dibentak-bentak. Lagian, Kaniya itu juga bercanda. Kamu itu aja yang, apa anak muda bilang? Per-per ituloh."

"Ya ampun Nenekku yang awet muda, baper, Nek." Aku menjawab sambil cekikikan dan memegang perutku yang kram karena tertawa keras.

Seketika aku diam saat melihat raut wajah Mama yang sebentar lagi akan meledak. Tingkat kepekaanku berkata bahwa aku harus segera berangkat sekolah jika tak ingin mendapat khutbah Rabu pagi ini.

"Sudah ya, saudara-saudara sekalian. Saya, Kaniya Avrilia harus segera berangkat sekolah agar tidak mengalami musibah yang bernama terlambat. Sekian, terima kasih." Setelah berkata demikian, aku keluar rumah lalu duduk manis di mobil. Kutancapkan gas dan keluarlah aku dari tempat laknat bernama rumah.

****

"Neng Kaniya datang pagi banget. Kok tumben?" tanya Lusi.

"Ada Nenek, biasa formalitas." Aku meletakkan tasku lalu kujulurkan kakiku di atas kursi Ragil.

"Loh, bukannya bangku lo di depan?"

"Halah, gue gak bisa duduk di depan Lusinta Luna!" aku mengambil satu buku di tas Ragil untuk kugunakan sebagai kipas, "Masalah Pak Anton mah gampang. Dimarahin kek, dapat poin kek, sampai Nyokap gue dipanggil ke sekolah gue gak peduli. Gue malah seneng, setidaknya mereka akan perhatiin gue kalau gue punya masalah di sekolah," ucapku dengan dada naik turun. Aku mencoba sekuat tenaga untuk membendung air mata, pertahananku tak boleh runtuh untuk sekarang.

Tangan Lusi terulur mengusap pelan pundakku, "Kaniya, lo gak boleh kayak gini. Kalau lo ingin Tante dan Om peduli sama lo, buat mereka bangga karena prestasi," nasihat Lusi dengan nada yang sangat halus.

Nasihat Lusi menyadarkanku tentang prestasi. Sekejap aku teringat dengan formulir ekskul musik. "Lusi bego! Hari ini terakhir ngumpulin formulir ekskul musik. Bentar gue cari formulirnya dulu." Aku menyeka air mata yang sedikit tumpah dan segera mengobrak-abrik tas untuk mencari formulir tersebut.

Aku selalu teledor jika berurusan dengan satu lembar kertas. Aku biasanya meletakkan di sela-sela buku, map, ataupun langsung memasukkan di dalam tas. Aku bingung dan panik, bagaimana kalau formulirnya hilang?

"Si!! Hilang Si. Gimana dong ini, haduh!" Aku berkata demikian sambil mondar mandir dan garuk-garuk kepala.

"Gue tadi denger formulir lo hilang?" Suara berat khas lelaki terdengar. Aku segera menoleh. Mataku sejenak berhenti bergerak dan fokus pada satu titik di depan sana. Mata teduh dan menenangkan itu lagi.

"Hehehe, iya Kak. Kalau hilang boleh minta lagi?" tanyaku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal, "Emm, btw Kak Vei kok bisa denger pembicaraan kita?"

"Kaniya, gak lihat sekarang jam berapa?" tanya Kak Veiron balik. Aku memutar kepalaku untuk melihat jam dinding. Dan ternyata, ini masih pukul enam lebih lima belas menit. Masih terlalu pagi dan sekolah masih sepi.

"Hehehe, iyaa masih pagi, jadi suara kita berdua masih bisa kedengaran sampe ujung. Tapi, Kak Vei kelas berapa? Kok lewat sini?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Panggil gue Veiron aja gak pake Kak. Gue masih lima belas tahun. Oh iya, gue kelas sebelas IPA satu," jawab Kak Veiron, dia juga membuka tasnya. Entah mencari apa, "Ini gue ada kertas HVS. Gue tulis formatnya di sini pakek tulisan tangan aja. Nanti lo isi lagi aja. Gue boleh masuk kelas lo?"

Aku melihat seisi kelasku. Untung saja masih ada empat anak yang datang, dan mereka anak pendiamnya bahasa. Para pasukan gosip belum datang, sepertinya ini keberuntunganku. Lusi? Entah kemana cewek rese itu pergi. Mungkin juga ke toilet atau ke kantin.

Veiron akhirnya masuk kelasku. Ia menaruh tas --yang sepertinya berat-- dan mulai menulis format-format pendaftaran ekskul musik.

"Makanya, lo itu gak boleh teledor. Untung ini masih kertas formulir pendaftaran ekskul, nanti bisa-bisa formulir pendaftaran lomba lo ilangin lagi."

"Tapikan Ka-,"

"Jangan panggil gue Kak. Panggil gue Veiron aja Kaniya, kita seumuran. Gue aja yang dulu SMP kecepatan, harusnya tiga tahun jadi dua tahun. Sebenernya sih tiga tahun gapapa, cuma gue bosen aja sama dunia SMP, hehehe."

"Orang pinter mah beda, Vei."

"Oh iya, gue tahu lo tadi mau bilang kalau ini hanya selembar kertas yang mudah hilang kan? Gue juga tahu. Tapi kalau sertifikat, piagam penghargaan, kertas ulangan dapet seratus, dll yang cuma selembar, lo simpen dengan baikkan? Jadi bisa gue tarik kesimpulan kalau lo gak ngehargain kertas ini."

"Maaf lagi. Gak basi kan?" []

*****

Selamat malam minggu saudara-saudara sekalian!!!

TschussTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang