DUA (b)

145 38 98
                                    

Aku telah membuat sangat banyak kesalahan. Aku juga tahu, aku harus berubah. Namun, aku perlu dukungan untuk berubah. Terutama dari Mama.

*****

"Maaf gak basi kan?" Aku bertanya sambil menyatukan jemariku. Aku mendadak berdebar, karena aku tahu ini adalah kesalahanku.

"Kalau maaf aja sih sudah basi. Tetapi, kalau maaf disertai perubahan itu yang baru!" ucap Veiron. Setelah itu, ia berdiri dari duduknya. Sebuah kertas yang sudah ia tulis sedemikian rupa hingga seperti formulir pada umumnya, diserahkan kepadaku.

"Terima kasih, Vei. Maaf merepotkan pagi-pagi." Aku menerima kertas itu dan langsung menyimpannya di dalam map plastik berwarna biru tua. Map itupun aku letakkan pada bangkuku. Itu pencegahan agar aku tak kehilangan barang berharga untuk kedua kalinya.

"Gitu, dong! Langsung lakukan perubahan. Jangan lupa kumpulin nanti pulang sekolah di kesekretariatan.  Gue ke kelas dulu." Tangan kirinya ia angkat. Jari-jarinya sangat panjang, sinkron dengan ukuran tubuhnya yang tinggi.

Aku membeku. Tangan panjang itu mengelus kepalaku, sangat halus. Aku memejamkan mata sesaat, berharap waktu berhenti walau hanya satu menit. Biarkan aku merasakan kenyamanan seperti ini untuk pertama kalinya.

"Gue tahu, lo cewek tangguh. Jadi jangan mengeluh. Kalau ada masalah cerita gue aja, anggap aja gue sahabat lo." Suara halus itu masuk melalui daun telinga, sehingga gendang suaraku bergetar. Namun, bukan hanya gendang suara. Jantungku juga bergetar. Semoga saja dia tak mendengarnya.

Aku membuka mataku perlahan. Yang aku lakukan hanya tersenyum. Dan, wajah Veiron adalah objek pertama saat aku membuka mata kali ini. Di otakku sudah banyak kata yang ingin aku ucapkan. Tetapi, entah mengapa aku merasa cukup mata kami yang saling berbicara.

Veiron menganggukkan kepalanya. Sepertinya dia paham, jika aku berterima kasih kepadanya melalui tatapan mata.

Mulai sekarang, aku akan menjadi pecandu tatapan teduh Veiron. Tatapan yang menenangkan nan menghangatkan. Semoga tak ada rasa sakit akibat aku menjadi pecandu. Semoga aku tak mengalami sakau jika tak bisa menikmati tatapan teduh itu lagi. Karena, tak ada pusat rehabilitasi bagi pecandu mata hitam legam sang Veiron.

*****

Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Selama lima menit itu pula aku sudah mengantre untuk mengumpulkan formulir pendaftaran ekskul musik di kesekretariatan.

Satu persatu siswa kelas sepuluh sudah mengumpulkan formulir. Akulah yang berada di barisan terbelakang. Mungkin lima menit lagi giliranku.

"Kaniya, sini deh lo. Kasihan gue lihat lo kelihatan udah capek banget gitu." Veiron melambaikan tangannya menyapaku. Aku merasa tubuhku sangat terpengaruh dengan Veiron. Apakah Veiron adalah segitiga bermudanya Kaniya? Mungkin saja, karena aku merasa tubuhku sangat ringan untuk mendekatinya.

"Vei, lo gemar banget ya bantuin gue. Makasih banget, loh." Aku menunjukkan formulir buatan Veiron yang telah kuisi lengkap beserta tanda tangan dan nomor teleponku.

"Gue gak tau aja, rasanya pengen bantu lo aja. Padahal di depan lo juga cewek. Tapi gue ngerasa kalau lo lebih butuh gue, gitu aja. Emm, please deh lo jangan terima kasih mulu sama gue. Gue capek dengernya."

"Hm, gimana ya, Vei. Gak enak aja kalo ada yang bantu gue tapi gue gak terima kasih gitu." Veiron hanya mengangguk. Ia sedang fokus meneliti formulir ku. Sedangkan aku sedang fokus meneliti setiap milimeter hasil karya Tuhan yang begitu sempurna. Semoga saja dia tak tahu jika aku sedang menelitinya.

TschussTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang