Empat

21 3 0
                                    

Langkahku terhenti didepan pintu kamarku. Aku menimbang nimbang apakah aku perlu kembali ke kamar Mia menceritakan pertemuanku barusan dengan si gadis berbaju merah, atau membiarkannya saja dan menganggapnya kebetulan. Tapi aku pernah mendengar sebuah ungkapan, dalam suatu kejahatan tidak ada yang namanya kebetulan. Akhirnya aku memaksakan langkahku kembali ke kamar Mia.

Sigit baru saja keluar dari kamar Mia saat melihatku datang lagi.

" Kenapa lo balik lagi?" tanyanya.

" Ada yang ketinggalan." Jawabku enteng sambil menarik kaos Sigit untuk kembali masuk. Sigit hendak protes tapi satu kedipan dari mataku cukup untuk membungkamnya dan mengikutiku kembali masuk kedalam.

" Loh kok balik lagi?" tanya Mia begitu melihatku masuk ke kamarnya lagi.

" Ada buku gue yang ketinggalan, lo liat ga?"  Ujarku sambil mengambil pena dan buku dari tas Sigit.

' Ikutin aja akting gue'  tulisku di buku Sigit.

" Ohh,,, iyaa,,,, ni buku lo tadi ketinggalan disitu, gue yang lupa." Mia dengan cerdik mengikuti sandiwaraku, meski matanya membulat dengan pertanyaan, ada apa sebenarnya?. 

" Gapapa gue emang yang pelupa kok, eh ya,,, gimana jadi jalan ga kita ntar malem?" sahutku lagi.

' gue ketemu ama cewe berbaju merah barusan di depan kamar lo, gue takut dia nguping, kayaknya disini udah ga aman.'   tulisku lagi di buku Sigit

" Yaa jadi dong,,, gimana Git,, Lo ikutan kan nonton Pocong berdarah kuntilanak ama kita??? Jangan bilang lo takut!" Mia memang ahli, kebohongannya melebar, ia sampai menyebutkan sebuah film yang sedang tayang di bioskop saat ini. Film yang sebetulnya meski dibayarin tiketnya pun aku ogah menontonnya.

" Sebetulnya gue males sih, tapi kalo nemenin cewe cewe nonton film horor gue mau deh, tapi gue duduk ditengah ya, biar kalo kalian pada ketakutan ntar tinggal peluk aa Sigit." katanya jumawa.

Aku dan Mia kompak melempar pandangan, jangan mimpi lu ye padanya.

" Boleh tapi ganti dulu kaos lo, gue liat udah 3 hari lo kagak ganti." timpalku pedas. Sigit mendelik kesal. Mia menahan tawa.

" Sialan lo!" Umpat Sigit kesal, yang malah membuatku dan Mia tertawa geli.

" Udah udah,, kalian pada pulang gih sana, siap siap,,, eh Ta jangan lupa buku lo!"

" Ok thanks Mi, gue balik dulu." Aku mengambil buku cerita Mia yang berjudul Silent on the moor, untuk kuakui sebagai bukuku yang tertinggal, jaga jaga kalau kalau gadis tadi ternyata memang memantau kami. Memang tersangkanya belum jelas, tapi tak ada salahnya berhati hati.

Aku keluar bersamaan dengan Sigit, kami berjalan beriringan dan berpisah di depan pintu kamarku. Sebelum dia pergi aku masih sempat berteriak padanya.

" Jangan lupa ntar malem, jangan lupa ganti kaos!"

Sigit menoleh ganas, aku buru buru, masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintu, sambil cekikikan.

Segera kurebahkan tubuhku keatas kasurku yang lembut dan empuk. Pandanganku menerawang ke langit langit kamar. Hari ini begitu melelahkan, tapi adrenalinku terpacu kencang. Dalam satu hari semua rasa berkecamuk dalam hati. Ngeri saat melihat pembunuhan, senang saat diajak ngobrol oleh kakak kelas idamanku, dan takut yang menyeruak tiba tiba saat berpapasan dengan si gadis berbaju merah tadi.

Akhirnya aku putuskan untuk memberikan nama julukan untuk para tersangka kami. Setidaknya ada 4 orang yang saat ini paling aku curigai.

Fani, aku akan menjulukinya Melati, karena ia terlihat sangat indah namun rapuh. Lalu si gadis berbaju merah ku juluki Mawar, karena sikapnya yang kurang bersahabat seperti duri mawar. Lalu si kacamata sebaiknya ku panggil Matem, singkatan dari mata empat. Dan si tampan berbadan atletis aku juluki Toblerone, karena manis seperti coklat toblerone, lalu aku tertawa sendiri setelah selesai memberi julukan kepada mereka semua.

Case ClosedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang