□■Episode 1■□

36 6 13
                                    

🎵Red Velvet - Red Flavor🎵

(I love vomment! ^^)

Seorang gadis muda beridentitas Hira tengah berdiri tegak di depan kasur. Kasurnya kasur lipat. Dia mana punya kasur king size. Mimpi!

Hira menggeleng-gelengkan kepala. Rohnya belum kumpul semua. Kedua tangan ia rentangkan dengan hentakan kencang, mencoba menghalau 'roh jahat' yang masuk. Pasalnya, ia takut terjungkal lagi ke tempat tidur.

Celana training biru laut serta kaus oblong merah yang sudah kusut itu menjadi bukti tak terbantahkan, bahwa semalam ia tidur amat nyenyak. Guling kanan, guling kiri. Kaki mengacung, badan meliuk. Peluk guling, tendang selimut. Sesemrawut itu. Dan uniknya, itu adalah ciri, bahwa ia tidur nyenyak.

Masih merentangkan tangan, Hira kembali menambah aksi. Kedua tangan yang selurus jarum jam itu ia jungkat-jungkitkan ke kanan dan ke kiri. Gerakannya kaku, wajahnya serius.

Dua menit cukup, Hira perlahan menurunkan tangan. Tapi, sedetik kemudian tangannya terangkat kembali. Hanya satu tangan. Ternyata Hira sedang menunjuk tegas pada kasur lipatnya yang masih semrawut itu.

"Kau!" Mimik mukanya serius.

"Ya! Kau! Kau, kasur lipat!" Ia mengajak bicara kasur lipatnya.

Sejurus kemudian, Hira menurunkan kembali tangannya. Wajahnya nampak malu-malu.

"Terima kasih, ya. Kau sudah memberikan kualitas tidur yang baik untukku." Gestur Hira seperti anak kucing kasmaran. "Dan terima kasih karena kau tidak membuatku bangun kesiangan. Hehe."

Setelah basa-basi dengan kasur lipat, Hira lantas memungut selimut yang letak pendaratannya dua meter dari kasur. Ia juga meraih bantal dan guling, memindahkan posisinya sementara ia melipat kasur. Hingga setelahnya, bantal diposisikan di atas kasur dan guling diletakkan berdempetan dengan kasur yang sudah rapi terlipat itu.

■□■

Rambut cepol, kaus oblong putih kapas, rok hijau zamrud tiga senti di bawah lutut. Penampilan seorang Hira di Rabu pagi ini.

"Kau mau ke kampus?"

"Ya!" Dia menjawab sesemangat itu.

"Kau yakin?"

"Tentu saja, Nenek. Kenapa pandanganmu sinis begitu?" Hira jengkel.

Nenek merubah pandangannya ke depan, menilik lama pada lalu lalang jalan raya sambil sesekali menyeruput teh paginya dengan tenang.

"Tidak salah?" Nenek bertanya tanpa menoleh. Membiarkan pandangannya dipenuhi oleh siluet dan bayang-bayang lalu lintas. Sesekali pemandangan paginya itu terhiasi oleh kepulan uap yang berasal dari cup yang ia pegang.

"Apanya?" Hira mendesis.

"Sudahlah." Nenek menyeruput kembali teh hangatnya sebelum beranjak dari bangku halte.

"Halmeoni mau ke mana?" Hira sudah lupa akan jengkelnya. Ia memandang bangkitnya sang Nenek dari bangku.

"Ya mau bekerja. Biar tidak miskin."

■□■

Hira berjalan di koridor dengan langkah jengkel. Selalu saja jiwa miskinnya tersentil tiap kali bertemu si Nenek. Entah kenapa nenek itu begitu sinis dengan kemiskinan Hira. Apa nenek itu miliuner? Hebat, kalau benar.

Comedy of Life (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang