□■Prolog■□

37 8 17
                                    

Rasanya, Hira ingin terjun payung saja. Peliknya permasalahan hidup begitu kental terasa. Darurat ekonomi kian mengancam hari-harinya. Selama hidup, ia sudah mencicipi berbagai macam varian rasa. Sudah bukan asam garam lagi. Melainkan rasa-rasa problematika yang sulit diungkap lisan. Mulai dari problematika sekecil biji sawi sampai ke problematika sebesar ukuran balon udara dikali lima.

Tidak. Barangkali, lebih dari itu.

Di pinggir jalan raya ini, Hira ingin tertawa kencang.

"HA HA HA!" Dan begitulah ia tertawa sekarang. Tawanya nyaring dan garing.

Seorang nenek menepuk bahu Hira sampai ia menoleh.

"Gadis muda, hidupmu masih panjang." Nenek menatap Hira dengan sendu.

"Amin ..." Hira sedikit membungkukkan badan lantas tersenyum lebar.

Nenek menghela napas lelah. Entah lelah karena apa. "Maksud Nenek, kau jangan sampai menyia-nyiakan hidupmu. Boleh kau frustasi, tapi jangan dulu gila di usia muda."

Hira mengerdip sebanyak dua kali. Kenapa nenek itu bisa tahu kalau ia sedang frustasi?

Dua menit lamanya Hira mematung. Nenek juga masih diam di samping Hira. Setelahnya, Hira sadar. Nenek ini barusan mengejeknya, 'kan? Apa katanya? Jangan dulu gila di usia muda? Apa Hira nampak sefrustasi itu? Ia menggeleng sambil menyentuh dada.

"Nak? Mau Nenek antar ke dokter, tidak?" Tangan Nenek melambai di depan wajah Hira.

Ya ampun, nenek ini.

Hira mengerjap. "Nenek, aku waras!" sungutnya tak terima diejek.

Giliran Nenek yang mengerjap. "Baiklah, baiklah. Kalau begitu, pulang. Temui ibumu dan minta maaf."

Apa maksudnya itu?

"Nenek, kalau Nenek ingin aku pulang dan menemui ibuku, Nenek harus memberiku uang."

"Anak muda sekarang mata duitan."

Ya ampun, nenek ini.

"Aku tinggal terpisah dengan ibuku. Dia di tempat lain. Makanya, Nenek harus memberiku ongkos pulang."

"Memangnya aku nenekmu?!"

Ya ampun, nenek ini. Nenek ini galak.

Hira hanya diam dengan bibir terbuka dan mata mengerjap-ngerjap.

"Apa anak muda sekarang miskin semua?"

Ya ampun. Sarkastik sekali. Jiwa miskin Hira jadi tersentil.

Melihat Hira yang hanya diam, Nenek kembali berujar, "Anak muda sekarang banyak mematung. Pasif. Tidak aktif bergerak. Bagaimana tidak jadi miskin?"

Dua kali, jiwa miskin Hira tersentil. Tapi Hira tak punya sedikit pun keberanian untuk menyanggah. Lagi pula, memang benar. Jika dihitung-hitung soal kekayaan, rasanya kekayaan Hira bahkan tidak bisa disebut sebagai kekayaan. Kemiskinan, iya.

Namun, walaupun Hira sering mengeluh, ia tidak pernah mengeluh terlalu lama dikarenakan ketidakkayaannya. Ya ... bisa sehari mengeluh, sehari tidak. Mengeluh lagi, normal lagi.

Tapi percayalah. Sepanjang hidup, orang-orang melihat Hira lebih banyak cengengesan dari pada mengeluh.

Apalagi setelah masuk kuliah. Ia makin hiperaktif. Itu karena dia terlalu senang punya banyak teman.

Tapi ada satu yang benar-benar teman sedari dulu. Yudai. Pria baik nan manis yang sering ia repotkan.

Suatu hari, Yudai mengajak Hira untuk ikut bergabung dalam sebuah kelompok kampus, tepatnya organisasi. Isinya para aktivis. Oh, Hira senang bukan main. Yang ia pikir, derajat kemiskinannya akan mengalami perbaikan.

Aktivis itu gemar menolong, 'kan? Begitu pikirnya.

Yehee!

Tapi seringnya manusia tak sadar. Selalu ada skenario yang mengikuti langkah setiap manusia. Hira pun. Serentetan skenario penting terus saja membuntuti langkah-langkah kecilnya.

Hidup bukan hanya
soal miskin dan kaya.
Lebih dari itu,
hidup adalah soal berusaha.
Yang miskin berusaha jadi kaya,
yang kaya berusaha tetap kaya.
Semua pihak punya kesempatan.
Dan Hira juga.
Ia punya.

☔☔☔
(Ditulis: Sabtu, 24 Nov 2018)
(Dipublish: Jum'at, 4 Jan 2019)
-Mauna Kea-
☔☔☔

Comedy of Life (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang