1.BINTANG

73 10 3
                                    

Bintang memukul bola volly itu dengan sekuat tenaga, dia tahu jika dirinya memaksakan diri untuk melanjutkan permainan ini, dirinya tidak akan sanggup untuk bertahan. Namun, siapa yang peduli dengan itu semua, memang keinginan seorang Bintang untuk mati sambil bersenang-senangkan? Tak ada seorangpun yang peduli jika ia meninggalkan dunia ini sekarang.

Bola itu melambung ke arah Bintang, ia bersiap siap untuk menerimanya, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, perih yang datang akibat pukulan tadi dan kepalanya yang terasa semakin berat, sedikit lagi Bintang yakin dia dapat bertemu dengan kedua orang tuanya, tubuhnya semakin melemah saat ia kembali memukul bola itu dengan semua tenaga yang tersisa.

Gadis itu berhenti bermain saat ia merasakan sakit yang tak dapat ia artikan.

Disini, di tengah lapangan sekolahnya ini, tak ada seorangpun yang peduli akan keadaannya, matanya terasa sangat berat dan tubuhnyapun hampir limbung jika tak ada sebuah lengan yang menopang tubuhnya sebelum ia jatuh, Bintang membuka matanya dengan lemah, wajah cemas pamannya menjadi satu-satunya ingatan yang ia miliki sebelum ia kehilangan kesadaran.

--✩--

Aroma menusuk khas rumah sakit memasuki indra penciuman Bintang, mendesaknya untuk segera bangun dan menyadari bahwa dia masih hidup.

Bintang mengerjapkan matanya, dia benar benar sedang berada di rumah sakit sekarang, bukan di tempat yang ia harapkan, namun siapa yang membawanya kesini?

Bintang mengingat kembali kejadian yang terjadi di lapangan sekolahnya, Devan yang menatapnya dengan cemas adalah satu-satunya orang yang mungkin melakukannya.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mata bulatnya mendapati Devan, pamannya itu sedang tertidur pulas di sofa.

Pasti Devan kelelahan karna masalah yang Bintang buat, belum lagi laki-laki itu harus mengurus perusahaan keluarga mereka, dan semua itu terjadi karna Bintang. Setelah semua hal buruk terjadi karena dia, sekarang Bintang malah menyusahkan Devan.

Devan membuka matanya saat merasakan tatapan dari Bintang padanya, Bintang telah sadar, ia langsung mengambil tempat di samping Bintang dan menggenggam tangan Bintang dengan erat, cemas terlihat jelas di wajahnya.

"Bintang kamu gak papa? Uncle khawatir banget, untung Sinta nelefon uncle waktu uncle lagi meeting tadi, if not, i don't know what will happened to you and my life." Ucap Devan, ia menatap wajah Bintang dengan khawatir, bagaimana jika ia tidak datang tepat waktu tadi, mungkin saja dia tidak akan bisa melihat wajah Bintang yang sedang menangis sekarang, menangis?

"Loh kamu kok nangis, ada yang sakit?, what do you feel?," Tanya pria tampan itu pada keponakannya, bukannya menjawab, Bintang malah semakin terisak. "Is it that hurt? how hurt the pain is? " Tanya Devan panik, tangannya mengelus kepala Bintang dengan lembut, ia hampir beranjak dari tempatnya untuk memanggil dokter sebelum Bintang meraih tangannya lalu menggenggamnya, mata Bintang menatap Devan dengan lembut sembari menggeleng lemah.

Dia bodoh, Bintang memang gadis yang bodoh, bagaimana bisa ia berfikir bahwa tidak ada yang peduli padanya di dunia ini, dia punya Devan yang menyayanginya sepenuh hati, melihat Devan yang sangat khawatir padanya membuat Bintang menyesal, jika dia memang mengakhiri hidupnya tadi, tidak terbayang seberapa sedihnya Devan.

"I'm okay, uncle." Jawab Bintang singkat, ia tersenyum lembut kepada pria berumur duapuluh enam tahun itu, membuat Devan merasa sedikit lega. "Tapi aku haus." Lanjut gadis itu terdengar manja, Devan terkekeh, Bintang kecilnya telah kembali.

HIS SHOOTING STAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang