Cacat Pada Sebuah Pertemuan(1)

1 0 0
                                    

Bangunan ini adalah bangunan kosong. Ini adalah ide Rere, ketika ia menemukan tempat aman untuk bersembunyi dari para guru saat kami sedang ingin beristirahat dari pelajaran sekolah, kusingkat saja menjadi tempat bolos. Berhubung Rere berteman dengan seorang sahabat yang baik seperti aku dan Nisa, maka kesempatan bolos itu hanya angan-angan saja. Tempat ini menjadi tempat rahasia kami untuk menghindari keramaian, karena sejauh ini belum ada yang bergabung dengan kami barang seorang pun. Sejak kami berada di kelas 12, sekolah kami membangun gedung tambahan untuk kantin dan perpustakaan. Yang diperkirakan akan selesai ketika kami melambaikan tangan menuju perguruan tinggi. Mereka memang begitu kawan, suka mencegah kita ingin lulus. Jadi, kami memutuskan, kalau tidak bisa mencicipinya saat bercat, mencicipi batu bata-nya juga tak masalah.

"Mari kita dengarkan alasanmu."

Kembali pada aku yang berada dalam mode interogasi atas kasus semalam. Rere segera mendapat bantuan dari Nisa ketika mereka mendengar secara singkat tentang betapa jahatnya aku. Aku memilih korban yang cengeng dan tukang mengadu, jadi tertangkap basahlah aku. Walaupun, harus kuakui aku menyesal dan tidak benar-benar sengaja untuk melakukannya.

"Aku tidak menerima wawancara." Jawabku malas. Aku meminum aqua yang baru saja aku beli di kantin. Butuh banyak mineral untuk menjaga pikiranku tetap waras di cuaca yang tidak menentu ini.

"Jelas tidak, ini pengakuan dosa." Rere jelas tidak akan pernah menyerah.

"Dia melakukan tindak kriminal apa sih?" tanya Nisa masih memakan coklatnya dengan ekspresi polos, kelihatan lebih tertarik dengan apa yang sedang melumer di mulutnya.

"Dia baru saja membunuh seorang ayah."ceplos Rere tanpa menyadari ekspresi Nisa yang berubah. Nisa mulai menelan coklatnya lambat-lambat.

Nisa kehilangan sejak menginjak kelas 11, ayahnya terlibat kecelakan kerja. Kami adalah orang terakhir yang berada di sisinya di malam berat itu. Pertama dan terakhir kalinya kami melihat Nisa menghilangkan sifat positif dan kekanak-kanakannya. Setelah itu, Nisa dan ibunya berjuang keras dan memulai usaha dari nol. Kami membantunya. Rere bahkan rela merengek ke ibunya untuk pertamakali supaya bisa membantu usaha kue ibu Nisa. Tahun itu, aku merelakan libur semesterku untuk menjadi kuli dan apapun yang dibutuhkan. Dengan kue sebagai gantinya. Nisa salah satu alasanku belum membunuh kakakku, selain karena aku bisa dijebloskan ke penjara. Menghargai hal yang ada di depan mata kita adalah hal yang cukup sulit. Aku tidak ingin berteriak pada ayahku dan menyaksikannya ditutupi kain putih esok harinya.

Aku menendang tulang kering Rere, membuatnya meringis kesakitan. Dia tidak protes.

"Wah, wah, aku mulai merasa tersinggung disini."

"Bisakah kita membuat ini singkat saja?"

Jadi, aku menceritakannya.

Hening adalah hal pertama yang menyambutku saat baru saja memasuki mobil Kai yang di kendarai Sean. Lelaki disampingku jelas tidak mengenal yang namanya radio, atau musik sepertinya. Padahal mobil ini dilengkapi surround sound yang keren sekali. Aku tidak berani untuk mengganggunya. Yang kulakukan adalah memegangi sabuk pengamanku sambil berdoa dalam hati semoga selamat sampai tujuan.

"Alamat?" Membutuhkan hampir 20 menit sampai akhirnya sebuah suara muncul.

"Mm, mediterania."jawabku bingung harus berekspresi seperti apa.

"Kau... tidak keberatan... kalau aku menghidupkan musik?"tanyaku hati-hati.

Dia melirikku sinis. Apapun yang ada di matanya sekarang, mungkin adalah tatapan 'Dasar budak jelek kotor tak tahu terimakasih! Beraninya berbicara denganku?'. Well, pikiranku memang berlebihan.

The Time When The Color Of Roses GrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang