Penyiksaan
"Kesejatian seorang laki-laki bukan berdasarkan otot, namun tanggung jawablah"
-Nada-***
"Jangan bilang sama bunda ya kak! Nada mohon."
"Tapi Nad-"
"Please kak, gue nggak mau bunda sedih lagi."
***
Aku berbaring di kasurku seraya memeluk bantal guling yang empuk. Entahlah, rasanya kehidupanku tiada artinya lagi. Kesedihan yang dulunya hampir tak muncul lagi, mulai menggoyahkan pertahanan kesabaranku. Aku capek, jikalau harus memendam perselingkuhan Ayah dengan perempuan yang terpaut dua tahun denganku itu lebih lama lagi.
Aku sudah tidak tahan menyembunyikan hal sebesar ini dari bunda. Tapi, aku harus melakukannya demi kebahagiaan beliau. Meski rasanya hidup sendiri itu sulit. Rasa kesendirian diantara orang banyak itu, sangat berat. Apalagi dengan beban seberat ini, di usiaku yang masih tujuh belas tahun. Mungkin aku pembawa sial!
Tanpa adanya teman yang bisa membantuku sekarang. Karena semua meninggalkan dan mengkhianatiku, termasuk Vany.
Kenapa diantara miliaran orang, harus aku yang menderita seperti ini. Selama ini aku mengasingkan diri dari orang-orang agar tak ada yang menyadari kesepianku.
"Nada, buka pintunya!"
Aku yang kini meringkuk dengan pikiran dan hati yang kacau, berusaha mengembalikan kesadaranku saat pintu kamarku di pukul keras. Entah ada kekesalan apa orang itu pada benda mati yang tidak bersalah itu.
Aku menoleh cepat. Tanpa suara, aku menghapus air mata di sudut mataku kemudian berjalan membuka pintu.
Hanya berselang beberapa detik setelah pintu belum terbuka sepenuhnya, aku menjerit.
"Aw!"
Aku meringis pelan merasakan nyeri di tulang pipiku. Rasanya sangat panas dan ngiluh. Bahkan tanganku yang kini menyentuh pipi kiriku itu terasa berdenyut. Lantas aku mendongak ke arah pria paruh baya dengan balutan jas biru yang melayangkan pukulan di pipi kiriku itu. Yah, Dia menamparku.
"Ayah?"
Wajah hangat itu memerah, memperlihatkan bahwa sifatnya tidak semanis wajahnya. Tatapannya yang penuh amarah itu menyorot langsung mataku, membuat nyaliku ciut seketika, sehingga secepat mungkin aku tertunduk menatap kakiku yang gemetar. Namun, itu tak berlangsung lama karena kepalaku tiba-tiba mendongak saat beliau menarik rambutku dengan kasar.
"Maksud kamu apa Nada? kurang apalagi ayah harus memanjakanmu, tapi kenapa kau masih berbuat ulah?" tukas Ayah seraya menatapku lebih tajam.
Jantungku berdetak kencang, dengan nafas yang bergemuruh. Mata ku terbelalak kaget, apa salahku, aku tidak berbuat apa-apa? Tapi, kenapa tiba-tiba ia menamparku."Ayah kenapa sih? Nada ga ngapa-ngapain."
Ucapanku tadi mendapat respon yang tidak baik, beliau menarik rambutku lebih keras. Tanpa menyurutkan kobaran amarah yang membarah dalam tatapannya.
"Nada, Ayah tidak pernah suka dengan penyangkalan!"
Intonasi suara beliau sudah mulai turun, namun tidak dengan kekerasan dan tatapannya yang menakutkan. Bahkan ia menarik lenganku dengan kasar kemudian menyeretku turun ke ruang keluarga.
Tak bisa dipungkiri, sakitnya luar biasa. Mungkin setelah ini, lenganku akan mendapat belas biru keunguan akibat cengkraman beliau yang kasar.
Tak berselang waktu lama, beliau melepaskan cengkramannya dari lenganku kembali ke rambutku seraya menghempaskan tubuhku ke tembok. Perlakuan itu sukses melayangkan setengah kesadaranku. Hingga akhirnya, kesakitan luar biasa terasa di punggung ku saat beliau melayangkan tongkat ke punggungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Dan Aku
Novela Juvenil[ H I A T U S ] (Cover by: @AnhGraphic) "Jika kamu melihat aku nampak baik - baik saja setelah perpisahan itu, maka itu adalah sandiwara terbesarku." Tentang kamu. Kita dan juga dia, sama-sama tidak setakdir.