XII IPA 1

53 6 0
                                    

Tetap melangkah!! Urung lihat kebelakang. Meski tak suka dengan tempat tujuannya. Meski tak tahu apa yang akan terjadi. Siap untuk menghadapi hari dan siap menantang panasnya matahari serta sederet kegiataan.

Ya.....itu adalah prinsip hidup aku seorang anak SMA kelas 3 juga mungkin prinsip sebagian hidup orang.

Aku nggak terlalu suka dengan sekolah. Sejak dari SD sampai sekarang aku bahkan tidak terbiasa dengan itu yang namanya belajar.

Tapi entah kenapa “mereka” selalu saja menjejali dengan fisika, kimia, biologi, mtk dan pelajaran lainnya yang cukup menguras otak.

Seperti kebanyakan siswa lainnya, aku remaja 16 tahun yang juga sedang beranjak dewasa. Masa-masa di sekolah adalah masa-masa yang indah. Jadi aku tak ingin melewatkan masa-masa itu untuk berpusing-pusing ria memikirkan pelajaran.

Hal yang paling membuat aku bersemangat untuk pergi ke sekolah adalah si doi hehe. Aku sudah menaruh hati padanya sejak duduk dibangku kelas 1 SMA. Aku mengenalnya saat kami sama-sama masuk di ekstra rohis. Sewaktu itu semua siswa kelas 1 diwajibkan untuk mengikuti 1 ekstrakurikuler. Dan aku pilih rohis karena ya kegiatannya nggak bikin capek kayak pramuka, pmr dll juga nggak harus berkutat dengan pelajaran. Lebih lagi aku bisa menambah ilmu agamaku disini.

Naik di kelas 2, aku dan teman-teman di kelas 1 dipisah secara acak. Dan senangnya aku karena bisa satu kelas dengan doi. Biasanya sih pertemuan pertama wali kelas akan menyuruh setiap siswa berkenalan berurutan sesuai nomor absen. Dan tepat ketika giliran doi, sudah deh nggak usah ditanya pandanganku langsung tertuju padanya.

“Nama saya Arka Wiijaya. Biasa dipanggil Arka dari kelas X B. Rumah saya di Jalan Merpati Gang Mangga, deket rumahnya pak RT.” Terdengar gelak tawa dari para siswa dan Wali kelas ku sendiri Pak Ridwan yang terkenal juga ramah orangnya setelah mendengar jawaban Arka.

Itulah salah satu hal yang aku suka dari Arka. Dia humoris dan simpel. Dia suka membuat guyonan-guyonan yang lucu tanpa menyakiti perasaan orang lain. Kulitnya yang hitam dan senyumnya yang manis menambah pesona.

Setelah saling timpal menimpali guyonan untuk beberapa saat giliran siswa selanjutnya. “ Azzahra...” Aku sedikit tersentak, tapi sanggup mengendalikan diriku dan melangkah ke depan kelas. Ah...ternyata nomor absenku setelah Arka. Aku senyam senyum sendiri jadinya.

“Nama saya Azzahra Putri Maryam. Nama panggilan saya Zahra. Dari X G.” Begitu singkat perkenalanku tapi menjadi sedikit panjang karena celetukan Arka. “Rumahnya gang mana Ra?” Aku sedikit canggung untuk menanggapi namun kujawab juga akhirnya. “Gang Kelinci.”

“Deket rumah Pak RT nggak?” Lagi-lagi ruangan diisi gelak tawa karena Arka. Aku pun ikut tertawa bukan karena candaannya tapi karena aku merasa Arka menanggapiku. Si doi notice kita itu merupakan hal sederhana yang paling membuat kita bahagia.

Tapi Pak Ridwan menyudahi candaan itu dan mempersilahkan aku untuk kembali ke bangku.

Hari-hari kulewati seperti biasanya di kelas, hanya bedanya sedikit lebih menyenangkan karena ada si Arka. Setiap minggu sekali ada pergantian bangku agar kami lebih mudah akrab satu sama lain. Entah kenapa aku sering mendapat posisi bersebelahan dengan Arka. Entah bersampingan atau depan belakang. Itu membuat aku akrab dengannya. Terlebih aku juga sering satu kelompok dengan Arka karena nomor absen kita yang berdekatan dan kami juga sama-sama jadi kaka pembimbing rohis.

Arka juga sering hangout dan curhat denganku, biasanya sih tentang keluarga, teman, sekolah dan sesekali kami membahas tentang gebetan. Dan jujur deh Arka ini sering banget buat aku baper karena kata-kata manisnya dan juga sifat Arka yang sulit ditebak membuat aku semakin suka.

Seperti kalimat ini misalnya, saat aku suka jahilin dia dan dia mulai kelihatan keganggu. Aku selalu tanya, “kenapa? Mau marah?” Dan dia selalu jawab. “Gue nggak akan marah sama loe kok, tenang aja. Karena cewek kan nggak pernah salah. Hehehe....”

Atau saat aku dan dia saling mengungkap tipe ideal pacar. Arka bilang, “Gue mah yang penting cantik, baik, terus yang paling penting bisa jadi pacar sekaligus sahabat. Enak kali kalo udah nyaman sebagai sahabat terus kita pacaran.”

Sumpah! Ini pertama kalinya aku lihat Arka bicara dengan serius dan wajah berbinar. Pacar? Sahabat? Bukannya selama ini sahabat cewek Arka yang paling deket cuma aku? Semua anak tahu kayaknya.
Ah.....rasanya sangat indah masa SMA ku. Kelas XI IPA 3 adalah kelas dimana aku membuat kenangan indah dengan Arka.
Namun nampaknya kenangan indah itu, benar-benar hanya menetap di kelas XI IPA 3.

Di hari bebas sewaktu acara classmeeting di semester 1, semua siswa sibuk mengurusi lomba. Aku sebagai siswa yang pasif tak berpartisipasi dalam satu lomba pun. Aku lebih sering berkeliaran di kantin, di perpus atau berdiam diri di kelas dengan beberapa temanku yang juga tak mengikuti lomba.

“Eh jahra...” Temanku si Fardi memanggil kala aku sibuk memainkan game di ponselku. “Zahra keles...” Aku bersungut. “Iya sama aja...” Teman-temanku terkekeh mendengarnya. “Minta uang kas lah buat beli jajan.” Sebagai bendahara kelas aku paling benci dengan kalimat tersebut saat diucapkan oleh anak yang nggak pernah bayar uang iuran kas.

“Minta aja cepet kalau suruh bayar nanti nanti.” Sahutku sinis. “Elah capek gue habis tanding voli ini.” Rengeknya. Belum juga aku menjawab segerombolan anak cowok berpakaian olahraga datang memasuki kelas dan membuat ramai suasana.

“Gimana? Gimana? Menang nggak futsalnya?” Celetuk salah satu temanku yang sedari tadi di kelas dan penasaran dengan hasil pertandingan. Tak ada yang menjawab namun ekpresi mereka menjawab semuanya.

Arka berjalan gontai kearahku melewati Fardi yang berdiri bersandar meja, ia duduk tepat disampingku. “Kalah nih?” Tanyaku padanya. Dia hanya menghela nafas pendek seakan jawaban untuk pertanyaanku.

“ Ya udahlah bro nyantae aja, namanya juga pertandingan.” Sela Fardi yang biasa dipanggil bocil ini alias bocah kecil karena tubuhnya yang kurus dan pendek. Nggak terlalu pendek sih kalau denganku tinggi dia dikit namun jika dibanding anak cowok lain dia kelihatan kecil. Ya meskipun ini anak slengekan tapi dia termasuk anak yang berbakat dan baik. OSIS, Pramuka, PMR dan rohis dia ikuti tapi entah kenapa sifat slengekannya nggak hilang. Bocil juga nggak terlalu pintar sih dalam pelajaran, namun soal ibadah dia rajin.

“Udah nggak apa-apa. Masih ada lomba lainnya.” Aku berusaha menghibur Arka. “Nih loe beli camilan sama minum ya buat anak-anak juga.” Aku menyodorkan beberapa lembar uang kas kepada Bocil. “Nah gitu kek.” Ia dengan senangnya mengambil uang tersebut dan bergegas ke kantin.

“Main apaan lu?” Arka meraih ponsel yang sempat kuletakkan diatas meja saat mengambil uang didalam tas. “Apaan sih lu? Balikin nggak. Gue lagi asyik ngegame nih.” Ucapku sambil mencoba merebut kembali ponselku.

“Ah elah gue juga main dah. Di hp gue kagak ada yang beginian. Nih loe pakek hp gua aja. Maen Sudoku aja lu hahaha....” Katanya sambil menyodorkan ponsel jadulnya.

Meski agak sebel ya sudahlah, biar Arka nggak bete juga karena kalah tanding. Aku mengotak-ngatik ponsel jadul Arka. Ini pertama kalinya aku melihat isi ponsel Arka yang nggak ada menarik-menariknya ketimbang ponsel aku. Ya hanya game Sudoku dan beberapa game lainnya.
Namun sedetik kemudian, layar ponsel Arka benar-benar menarik. Saat sebuah panggilan masuk dari kontak yang tertera nama beloved. Ku baca berulang kali. Beloved? Beloved? Apa mungkin?

Arka meraih ponselnya dalam genggamanku. “Ada telpon ya?” Aku melirik Arka kemudian mengangguk. “Bentar ya,” Arka berlalu pergi begitu saja meninggalkan ponsel yang sedari tadi asyik digenggamannya dan juga meninggalkan aku yang terpaku penasaran.
Esoknya Arka cerita, memang sudah 1 minggu ini dia menjalin hubungan dengan Aisyah dari kelas sebelah. Sudah lama nyatanya Arka menaruh hati dengan Aisyah. Anaknya cantik, badannya kecil, tinggi dan kulitnya kuning langsat. Beda 180 derajat dengan perawakanku. Dia anak rohis dan pramuka. Suaranya merdu sewaktu malam itu diacara penerimaan anggota rohis baru Aisya melantukan sholawat. Yang Arka bilang menjadi awal mula hatinya tertambat di Aisyah.

Jadi selama ini yang dia bicarakan Aisyah? Lalu apa hadirku selama ini nggak berarti apapun buat Arka? Yahh aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku dan Arka tidak punya status apapun. Selama ini nyatanya aku yang hanya terlalu berharap terhadap Arka.

Aisyah? Setahuku Aisyah ini orangtuanya Haji dan dia pun berhijab. Aku mengenalnya sebagai gadis yang polos dan paham agama. Setiap hari yang dibahas ketika rohis adalah jangan pacaran jangan pacaran. Halah omong kosong, nyatatanya Aisyah sendiri berpacaran. Dia hanya alim diluar, menutupi aibnya dibalik hijab yang selalu ia kenakan.

Mulai sejak saat itu pertemanan aku dan Arka menjadi renggang. Entah sejak kapan juga aku mulai membenci Aisyah. Aku membenci dia dan teman-temannya yang kurang lebih sama dengan Aisyah. Suka bersembunyi dibalik hijabnya, padahal sikapnya tak ubah seperti aku ini.

Lama-kelamaan Arka mulai menyadari perubahan sikapku dan pergaulanku yang sekarang berteman dengan anak yang kurang benar. Aku juga sama sekali tidak menghadiri kegiatan rohis. Bagiku biasa saja sih, temanku yang sekarang memang tak sealim temanku yang kebanyakan anak rohis atau anak-anak pendiem di kelas. Tapi mereka juga tak liar kok. Dan juga mereka tidak munafik.

Aku tidak peduli dengan nasehat Arka, dan anak-anak mulai menggunjing tentang aku, Arka dan Aisyah. Jelas! Tidak usah ditanya banyak yang mendukung Arka dengan Aisyah. Dari segi manapun Aisyah selalu memiliki nilai lebih dibanding aku.

Arka sama sekali tidak mengerti tentang aku, tidak paham dengan perasaanku. Tidakkah dia merasa sedikit saja bahwa aku menaruh hati padanya? Atau sebenarnya Arka tahu namun berpura-pura tidak tahu?

Siapalah aku ini? Aku tidak cantik, tubuhku pendek. Aku berhijab seadanya dan tak pandai bersholawat. Aku tak pintar juga tak populer. Ah....mulai saat itu aku selalu membanding-bandingkan diriku dengan Aisyah. Yang membuat aku semakin iri dan membencinya.

Cerpen-XII IPA 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang