Sebagai pelepas penat di liburan kali ini aku berkunjung ke rumah teman satu kos ku di Depok. Aku baru ingat bahwa disini adalah tempat ka Fatih kuliah.
Sewaktu lalu ka Fatih sempat bertanya dengan hubunganku dan Fardi. Ka Fatih tahu karena dia dan Fardi masih berteman hingga sekarang. Bahkan ka Fatih lah yang membuat hubunganku dengan Fardi membaik disaat kami bertengkar.
“Kaka bohong! Kaka bilang Fardi anak yang baik. Kaka bilang Fardi serius dengan hubungan ini.” Aku berfikir untuk bertemu dengan ka Fatih sebentar selagi aku di Depok. Dan ka Fatih setuju bertemu denganku.
“Kaka juga nggak tahu akan begini jadinya dek Zahra, kaka hanya menyarankan yang terbaik untuk pertengkaran kalian waktu itu. Kaka minta maaf.” Suara ka Fatih pelan beralun beriringan dengan lembutnya musik di kafe ini.
“Kenapa kaka minta maaf. Mungkin sudah takdirku tidak akan bertemu dengan lelaki yang benar mencintaiku.” Aku meneguk minuman dingin dihadapanku.
“Kaka bilang sama adek untuk jangan pacaran. Tapi dek Zahra masih tetap saja menjalin hubungan tak jelas.” Kali ini kata-kata ka Fatih terdengar menghakimiku. Secepat itukah rasa bersalahnya hilang?
“Aku dan Fardi nggak pacaran kak. Kami menjalani hubungan ini dengan sewajarnya dan dia berjanji untuk menikahiku. Aku yang tersakiti dan sekarang ini masih menjadi salahku?” Aku menatap ka Fatih dan meluapkan emosiku.
“ Jangan jadikan kalimat Tidak Pacaran sebagai kedok. Memang tidak ada itu namanya PDKT, nembak lalu jadian. Tapi dek Zahra tetap saja melabuhkan hati terlalu dalam dan menjatuhkan harapan pada seseorang yang belum halal. Taaruf? Taaruf hanya untuk mereka yang sudah siap dek. Fardi saja tidak menemui kedua orang tua dek Zahra lalu bagaimana dek Zahra bisa percaya begitu saja. Dek Zahra secara alami memiliki rasa kepemilikan terhadap Fardi, padahal jika ijab kobul belum terucap Fardi bukanlah milik adek. Jika sekarang dia pergi, tak ada hak untuk adek menuntut. Bisa disimpulkan bahwa hubungan adek dan Fardi adalah hubungan yang tidak jelas.”
Benar-benar tersentak aku mendengarnya. Tidak ada yang salah dari perkataan ka Fatih.
“ Tidak pacaran bukan hanya sekedar menghindari zina, tapi juga untuk menjaga hati. Jika adek belum bisa menjaga hati dari seseorang yang belum halal, pacaran atau tidak sepertinya sama saja.” Lanjutnya. Dan lagi-lagi yang dikatakan ka Fatih benar.
Selama ini aku masih harus banyak belajar, ada banyak hal yang belum aku ketahui secara luas. Rasa ini sama seperti yang kurasakan saat kehilangan Arka dan putus dengan Agha. Lalu aku mengulanginya lagi hanya saja dengan bungkusan yang lebih baik.
1 tahun sudah aku meneguhkan diriku untuk tidak pacaran. Benar-benar tidak pacaran seperti yang dijabarkan ka Fatih.Dan aku membuktikannya ketika waktu itu, ada seorang lelaki satu kampus denganku. Dia berusaha mendekatiku, dia datangi kedua orang tuaku. Meminta izin kepada beliau untuk menjalani taaruf denganku. Setiap hari menanyai kabar aku dan orang rumah. Hingga 3 bulan lamanya taaruf itu terjalin aku mencoba bertanya tentang kelanjutan hubungan kami.
Beginilah balasan dari chatku kala itu.
“Kita jalani saja dulu dek Zahra, baru juga 3 bulan. Apa ini tidak terlalu buru-buru?”
Terburu-buru? Bukankah taaruf hanya untuk mereka yang sudah siap menikah. Selama 3 bulan ini aku benar-benar menjaga hatiku untuk tak terlalu menaruh harapan kepadanya. Dan jawabannya saat ini membuatku takut terjebak dalam hubungan yang tidak jelas kembali.
“Maaf mas, mungkin lebih baik kita sudahi saja taarufan ini. Dan menjalin silahturohim sebagai seorang sahabat. Datanglah ke rumah jika mas butuh penjelasan lebih lanjut.”
Aku menyudahi hubungan ini sebelum aku tersakiti lagi. Aku akan benar-benar menjaga hatiku. Hingga waktu itu datang. Lelaki itu datang menemui kedua orang tuaku dan melamarku sebagai istrinya.
Lelaki yang dahulu bayangannya selalu aku lihat di kelas XII IPA 1.
Yang dulu hanya kukenal sebagai kaka kelas dan membuat sedikit kenangan berkesan di kelas XII IPA 1.
“Berdasar cerita dari Arka tentang sahabat perempuannya yang katanya baik dan selalu peduli dengan orang lain." Ucapnya memulai pembicaraan."Saya tidak tahu rupa perempuan pemilik nama Zahra kala itu dan saya juga tidak berniat untuk tahu. Tapi kenyataannya kita dipertemukan pada waktu, tempat dan kondisi yang sudah ditetapkan Allah SWT.” Ka Fatih menoleh padaku.
Dihalaman belakang rumahku yang dipenuhi bebungaan akibat ulah Ibu yang sering menanam dan merawatnya, aku dan ka Fatih duduk bersampingan terhalang oleh meja besi sedang kedua orang tua kami berada di bangku kayu tak jauh dari tempat kami duduk. Kami dipersilahkan untuk bercakap-cakap sebentar dengan setelahnya harus segera memutuskan pilihan.
“Sifat dek Zahra yang selalu mau berubah itulah yang membuat hati saya yakin untuk menjadi imam adek. Saya akan membimbing adek dan sayalah yang akan membuktikan bahwa takdir dek Zahra tidak akan bertemu dengan laki-laki yang mencintai adek itu salah.”
Sungguh! Meski kini senyumku tak mampu melebar dan terbilang ala kadarnya tapi hatiku benar-benar tersentuh. Air mata bahagiaku berdesakan ingin keluar, tapi aku mencoba menahannya.
Tak ada kata lain yang bisa kuucapkan selain rasa syukur dan terimakasihku kepada Allah SWT. Tak ada penyesalan begitu mendalam selain aku pernah berprasangka buruk kepada-Nya. Dan jika ditanya seberuntung apa aku saat ini? Aku sangat beruntung bisa dipinang oleh lelaki yang mencintaiku karena Rabbnya.
Annauhibbukhafillah ka Fatih
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-XII IPA 1
Short Story[COMPLETE] Hari itu tersimpan baik di memori ingatanku. Hari dimana aku dinasehati dengan seorang cowok berumur 18 tahun. Sangat berwibawa, dewasa dan ramah. Seseorang yang bahkan tak terlaku kukenal. Hanya kenal sebagai kaka kelas, sebagai ketua ro...