Aku berkumpul dengan teman-temanku di tangga sisi kiri kelasku menyambung ke bangunan atas. Kami duduk sambil bersenda gurau membicarakan hal apa saja yang bisa membuat suasana menjadi seru.
Tapi nampaknya aku sedang tak berada ditempatnya. Maksudku, aku merasa tidak nyaman, tidak bersemangat, hatiku terasa kosong, padahal ini kegiatan yang sering kulakukan setidaknya beberapa minggu terakhir setelah patah hatiku akan Arka.
Aku tak berselera menimpali candaan mereka, sambil berpangku tangan aku melihat sekelilingku. Disebelah kelasku adalah kelas XI IPA 4, dikelas itu cewek bernama Aisyah menetap. Aku berharap dia tak keluar dari pintu sana dan menambah buruk suasana hatiku.
Ah...iya, aku lupa. Mungkin saja saat ini dia dan Arka sedang asyik bercengkrama di masjid sekolah. Biar sedikit terlihat syar'i pacarannya dan tidak menimbulkan fitnah. Benar-benar hebat!
Disebelahnya lagi kelas XII IPA 1, yang terlihat hanya kaka-kaka kelas yang juga menghabiskan waktu istirahat. Jauh diseberang sana sebuah bangunan terpisah, berlalu lalang orang masuk dan keluar.
Aku teringat betapa nyamannya berada didalam bangunan itu. Sejuk, tenang, nyaman. Ada banyak buku yang tersusun rapi di rak, menyapu setiap perhatianku untuk mengambil dan membacanya.
Entah kapan terakhir kali aku mengunjungi bangunan tersebut. Mungkin semenjak aku patah hati akibat seseorang dan mulai mengalihkan semua perhatianku dengan menjalani kebiasaan baru.
Aku jadi kangen. Sekarang ini hatiku juga sudah lumayan membaik.
Keasyikanku berkutat dengan duniaku sendiri terhenti ketika terasa ada sentuhan jari dipipiku.
"Ngelamun aja sih," Agha, si cowok populer salah satu temanku yang dianggap kurang benar. Sebenarnya bukan kurang benar sih, mereka saja yang terlalu menjudge seseorang. Agha ini anaknya baik, nggak pecicilan, anak basket, anak voli, pokoknya sporty abis. Anaknya tinggi, besar, kulitnya coklat. Tapi ya itu soal agama kurang, dikenal suka gonta ganti pacar. Entah berapa cewek di sekolah ini yang jadi mantannya baik kaka maupun adik kelas. Dia juga nggak pinter.
Dan anehnya beberapa hari terakhir semenjak waktu itu dia kayak menaruh perhatian lebih padaku, dia juga sempat bilang suka dengan sifatku yang care dan apa adanya.
Padahal waktu itu aku benar-benar hanya berniat membantunya. Agha mengalami cidera di kaki kirinya setelah bertanding basket melawan SMA lain. Dia yang memang sedikit emosian, marah-marah nggak jelas karena kalah dipertandingan tersebut.
Anak-anak lainnya entah kenapa dia justru kelihatan seperti tak peduli dengan Agha, hanya mengucap kata-kata sewajarnya sebagai pemantas saja. Sebagai seorang sahabat aku fikir mereka harusnya melakukan yang lebih daripada itu. Jika mereka tak mau melakukan biar aku saja.
"Udah Agha, kalah itu kan wajar dalam sebuah pertandingan. Sportif dong." Ujarku sambil memegang bahu kirinya. "Tim kita nggak akan kalah kalau gue nggak cidera Ra, dan lagi anak-anak yang lain sama sekali nggak bisa diandelin." Jawab Agha masih dengan kejengkelannya.
"Loe jangan gitu dong. Dalam sebuah tim sewaktu kalah atau menang bukanlah kesalahan salah satu pihak, tapi harus ditanggung bersama-sama." Aku berusaha menasehatinya.
"Males gue main kalau gini. Nggak seru." Agha terdengar putus asa dan aku bukan tipe orang yang suka mendengar keputus asaan orang lain apalagi dari mulut sahabatku sendiri.
"Loh kok jadi nggak semangat gitu. Loe harus tetep tanding Ga. 2 hari lagi kan pertandingan terakhir untuk masuk semifinal. Lagipula saat kita berjuang jangan dilihat hasilnya tapi prosesnya dulu." Agha mendongakan kepalanya dan kini kami bersitatap muka. Wajahnya serius ditambah dengan mata dan dagu yang tajam, giginya germetak dan jari di kedua tangannya saling bertautan.
"Coba bilang 1 alasan gue harus tetep semangat ikut pertandingan." Suaranya lembut dan tipis. Aku merasa sedikit canggung sebenarnya, namun aku harus menjawab agar Agha bisa bersemangat lagi.
"Karena...karenaa...anak-anak butuh loe. Sekolah ini butuh loe dan gue butuh loe untuk mengikuti pertandingan nanti." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Agha terdiam tak ada jawaban, suasana jadi benar-benar canggung sekarang.
"Kalau sekolah kita menang, siapa yang senang? Guru-guru senang, anak-anak, gue, loe..." Aku mencoba menyairkan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-XII IPA 1
Short Story[COMPLETE] Hari itu tersimpan baik di memori ingatanku. Hari dimana aku dinasehati dengan seorang cowok berumur 18 tahun. Sangat berwibawa, dewasa dan ramah. Seseorang yang bahkan tak terlaku kukenal. Hanya kenal sebagai kaka kelas, sebagai ketua ro...