Part 2

8.5K 334 45
                                    

Setelah berpikir dengan matang, aku pun menerima tawaran perjodohan dari Ayah. Walaupun sempat takut dengan ancaman Elang, bahwa dia tidak akan segan-segan membuat hidupku menderita.

Aku tak peduli dengan ancamannya. Dia tak akan berani berbuat macam-macam. Sebab, kupikir kami akan tinggal serumah dengan orang tua Elang. Namun, dugaanku salah, ternyata Elang telah menyiapkan rumah untuk kami tempati. Sebenarnya aku betah tinggal di rumah orang tua Elang. Mereka semua berlaku baik padaku. Akan tetapi, keputusan Elang tak bisa diganggu gugat. Harus menurut apa yang dia katakan.

"Besok, kita pindah dari sini. Tinggal di rumah yang dekat dengan kantorku," ucap Elang setelah acara resepsi.

"I-iya, kenapa nggak tinggal di sini? Bukannya kamu anak tunggal?" tanyaku dengan bibir sedikit bergetar.

"Nggak usah banyak tanya, turuti aja apa mauku!" bentak Elang kemudian membuang tubuhnya secara kasar ke ranjang.

Aku menelan ludah. Baru sehari menjadi istrinya sudah begini. Oh, Allah ... kenapa harus menerima pernikahan ini? Aku mendesah pelan.

"Kenapa? Nyesel? Sudah aku bilang, 'kan sebelumnya?" tanya Elang sinis.

Aku bergeming. Kemudian hendak naik ke kasur karena lelah dan ingin istirahat, tapi tiba-tiba Elang mendorongku. Sampai jatuh terpelanting.

"Aduh! Kenapa main dorong aja, sih?"

"Siapa suruh naik ke singgasana Gue. Ini nggak boleh ditempati siapa pun!" bentak Elang.

Elang melempar bantal dan selimut padaku. Dia menyuruhku tidur di lantai. Huh! Dasar lelaki tidak tahu diri! Ok, ini memang rumahnya, bebas melakukan apa saja.

Aku pun terpaksa tidur di lantai. Sebenarnya aku alergi dingin, tapi bagaimana lagi. Memang sudah nasibku seperti ini. Tak berapa lama lagi terdengar suara Elang mendengkur. Hah, mengapa begitu cepatnya tidur dengan pulas?

Aku menutup tubuh dengan selimut, setelah itu langsung memejamkan mata dan terbang ke alam mimpi.

Kemudian, aku merasakan tubuh menggigil, hawa dingin menyergap. Ah, aku kedinginan, lalu hidung tersumbat dan bersin-bersin. Memang aku alergi dingin. Aku bangkit dan melihat layar ponsel, waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Saatnya untuk salat tahajud. Aku pun menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Lalu, aku melakukan salat dan setelahnya membaca alquran.

"Hei, ini jam berapa, sih? Berisik! Ganggu orang tidur aja!" ketus Elang.

Aku menghentikan membaca alquran.

"Aku nggak ada niat ganggu orang, kok," sahutku.

"Kalau nggak mau ganggu, jangan kenceng-kenceng suaranya!"

"Namanya juga ngaji, masak harus bisik-bisik," ucapku.

"Lo berani sama gue, ya!" Mata Elang merah menyala, rahangnya mengeras.

Elang mengambil dengan paksa alquran yang ada di tanganku. Lalu, melemparnya.

"Astagfirullah, itu kitab suci kita. Kamu nggak ngerti apa, kalau untuk memegangnya kita harus berwudhu dulu! Ini malah kamu melemparnya, ngerti agama nggak, sih!" geramku.

Aku langsung mengambil alquran dan menciumnya. Kemudian, mendekapnya dengan erat. Mata ini benar-benar perih, tanpa terasa buliran bening menetes dari sudut mata. Tak pernah menyangka ternyata Elang sama sekali tak mengerti hal sebesar ini. Ya Allah ... bagaimana bisa aku menerima pernikahan ini? Suamiku tak paham sama sekali soal agama.

"Halah! Lebay, cuma kitab aja ditangisi. Gue mau tidur! Bisa diem nggak!"

Aku bergeming. Hati masih sangat dongkol. Kulirik Elang ternyata dia sudah pulas lagi. Begitu cepatnya dia kembali ke alam mimpi.

Pernikahan Membawa Luka(Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang