Part 3

7.2K 294 31
                                    

Waktu berjalan begitu lambat. Baru dua bulan menjalani pernikahan serasa sudah bertahun-tahun lamanya. Ah, mengapa nasibku harus seperti ini? Kami sudah tinggal di rumah Elang yang memang telah disiapkan sebelumnya. Hadiah dari orang tuanya. Seharusnya aku bahagia karena semua fasilitas tersedia. Namun, aku merasa tak menikmati sama sekali.

Rumahnya tergolong megah. Memiliki ruang tamu yang luas. Berbagai perabot mulai dari sofa, karpet, hingga lampunya terlihat mewah. Ditambah lagi dengan langit-langitnya yang tinggi membuat ruangan terasa sejuk. Dinding putih di keseluruhan interior terkesan indah karena pantulan dari cahaya lampu. Akan tetapi, kemewahan itu tak berlaku apa-apa bagiku. Sebab, perlakuan yang tak baik dari Elang. Kalau saja Elang bisa bersikap layaknya seorang suami, mungkin hidupku akan sempurna.

"Nora! Cepetan dikit bisa nggak? Lemot banget jadi orang!" Terdengar teriakan Elang dari ruang makan.

"Iya, sebentar! Sabar dikit napa!" teriakku dari dapur.

Sebenarnya jarak dapur dengan ruang makan tak begitu jauh. Entah, kenapa Elang suka teriak-teriak begitu? Aku heran, dia tidak pernah berbicara pelan. Semoga hanya dia makhluk Tuhan satu-satunya yang bersikap seperti itu.

"Gue bisa terlambat! Cepetan! Bisa masak nggak?" Masih saja terdengar Elang berteriak.

Dengan tergesa, aku membawa menu sarapan ke ruang makan. Meletakkan dua piring nasi goreng ditambah telur ceplok di atasnya, ke meja yang terbuat dari kayu jati.

Orang tua Elang memang mempunyai selera yang tinggi dalam dekorasi. Keseluruhan ruangan dibalut dengan perabotan dari kayu yang berwarna gelap. Menjadikan ruangan terasa elit dan juga megah. Warna kayu yang gelap memiliki kesan alami dan juga hangat. Aku terpesona dengan ruangan ini, sangat kontras dengan ruang makan di rumahku yang sederhana.

"Malah bengong aja lo! Cepetan makan, nggak pakek lama! Itu kalau mau berangkat bareng gue."

"Iya, tinggalin aja! Aku bisa, kok, berangkat sendiri. Dari dulu juga selalu sendiri," sahutku sambil menyantap nasi goreng.

"Mulai sekarang berangkat bareng gue! Nggak boleh nolak."

Aku terbatuk mendengar pernyataan Elang. Kenapa tiba-tiba mau berangkat bareng aku? Biasanya selalu menolak.

"Eh, lo kenapa? Pelan-pelan kalau makan! Jangan sambil ngelamun."

"Eemm, kenapa tiba-tiba mau berangkat kerja bareng aku? Kita beda jalur, lagian aku sudah biasa naik motor sendiri," sahutku.

"Gue nggak mau jadi bahan gunjingan orang. Istrinya dibiarkan pergi kerja bawa motor sendiri."

Aku hanya mengangguk dan ber ‘oh’ ria. Kupikir karena hal lain. Ternyata hanya supaya tidak jadi bahan omongan orang. Eh, tapi … darimana Elang tahu kalau digunjingkan orang? Jangan-jangan pria beralis tebal ini suka merumpi.

"Kenapa? Lo pikir gue mulai tertarik sama lo? Jangan terlalu PD!"

Aku bersungut-sungut, napas naik turun menahan amarah. Dasar om-om playboy! Aku menyantap nasi dengan asal.

"Siapa juga yang mikir gitu. Aku cuma heran aja, kenapa bisa tahu kalau jadi gunjingan orang. Jangan-jangan kamu suka ngerumpi." Aku tersenyum miring.

"Enak aja! Tahulah pokoknya!" sentaknya sambil menatapku tajam.

Ditatap begitu membuatku salah tingkah. Aku langsung menunduk dan melanjutkan sarapan. Entahlah, setiap tanpa sengaja kedua pasang mata kami beradu, selalu ada desiran aneh di hati.

Akhirnya sarapan pun selesai. Aku segera membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu segera menyambar tas yang sudah aku siapkan di sofa ruang televisi. Bergegas menyusul Elang yang keluar lebih dulu. Setelah mengunci pintu masuk ke mobil Elang.

Pernikahan Membawa Luka(Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang