08 - 1 : RUBUH

143 15 0
                                    

Satu per satu anak tangga dia daki. Seul sedang menuju rumahnya sendiri. Langkah kakinya lemas, begitu pula dengan seluruh tubuhnya. Ah, mungkin karena permata rubah sudah tak ada padanya, pikirnya. Seul hanya fokus tentang segera beristirahat di kamar tidurnya.

Dari luar pintu, Seul bisa mendengar ribut-ribut di dalam rumah. Ayah dan ibunya sedang berteriak tentang dirinya yang tak kunjung pulang dan tak bisa dihubungi. Dae Woong berkeras untuk mencari anak itu ke segala tempat dan menemukannya, sedangkan Mi Ho menenangkan suaminya.

Lalu Seul membuka pintu. “Appa,” panggilnya, dengan wajah pucat dan badan lemas. Dan anak itu RUBUH di depan ayah dan ibunya.

“Seul-ah!!” Dae Woong dan Mi Ho berseru.

Dae Woong berlari sambil menggendong Seul di punggung menuju kamar Seul. Mi Ho mengikuti mereka sambil menangis dan terus menangis panik di samping Seul yang kini terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Dia terus menyentuh kening dan tangan putrinya. “Kenapa dingin sekali? Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi?” dia tak berhenti bertanya-tanya.

Dae Woong tahu yang harus dia lakukan pada saat seperti ini. Dia bergegas keluar kamar dan kembali dengan membawa dua botol kaca berisi permata rubah yang cantik—warna biru permata itu berpendar seperti api. Dae Woong memberikan salah satu botol permata pada Mi Ho dan satunya lagi dia buka tutupnya untuk diminumkan kepada Seul.

“Sebentar!” seru Mi Ho, menyadari sesuatu. Botol kaca yang lebih kecil diambilnya dari tangan Dae Woong. Dia mengamati warna biru pada botol itu, dan menemukan bahwa permata rubah di dalamnya sama sekali tidak bercahaya. “Woong-ah, ini bukan permatanya,” kata Mi Ho, cemas.

“Apa?”

“Ini bukan permatanya. Dia menukarnya.” Mi Ho semakin cemas.

“Apa maksudnya?!” Dae Woong panik.
Mi Ho berpikiran aneh. “Sepertinya Seul ingin memiliki permatanya sendiri. Dia menelannya dan—”

“Tidak mungkin!” Dae Woong merebut botol permata milik Mi Ho dan mendekapkannya pada Seul. “Kalau dia menelan permatanya, seharusnya dia jadi sehat bukan sakit seperti ini!” Dae Woong berlogika.

“Woong-ah, kau lupa? Dong Joo Seonsaeng bilang—”

“Dong Joo Seonsaeng, Dong Joo Seonsaeng! Aku tidak percaya padanya! Jadi, kau juga jangan percaya dan jangan berpikir yang macam-macam. Tetaplah di sini dan pegang tangannya. Kita HARUS berada di sampingnya,” kata Dae Woong, tentang Seul, tegas.

Dae Woong teringat akan masa lalunya. Saat sebuah kecelakaan terjadi dan merengut nyawa kedua orang tuanya, dirinya pun hampir mati karenanya. Tapi sang kakek tak pernah melepaskan tangannya hingga dia sadar setelah berhari-hari. Dia merasa kakeknya itulah yang membuatnya bisa bertahan hidup. Sekarang, demi Seul, dia akan melakukan hal yang sama. Bukan hanya dia, tapi juga istrinya, Mi Ho. Dengan begini, Dae Woong YAKIN Seul akan segera membaik.

Seul terlahir dengan dua energi yang tidak menyatu secara sempurna di dalam tubuhnya. Satu energi manusia, dan satunya lagi energi gumiho yang lemah. Dia tidak terlahir bersama ekor, tapi hanya terlahir bersama kekuatan. Ekor bisa tumbuh kapan saja, saat cahaya permata rubahnya telah jauh lebih terang. Untuk itu, dua energi harus berada di satu tubuh dan melakukan pertarungan. Itu yang Dong Joo Seonsaeng katakan saat suatu ketika Seul yang masih bayi menangis tak henti-henti.

Dong Joo Seonsaeng berkata, “Pilihannya hanya dua. Dua energi itu bersatu, atau salah satu mengalahkan yang lainnya. Jika keduanya bersatu, dia akan jadi makhluk campuran sepertiku yang bisa membunuh dengan hanya tetesan darah. Jika keduanya tidak bersatu, artinya salah satu harus menang dari yang lain. Yang mana pun itu, rasa sakit yang didapatnya akan sama saja,dan bisa pula dia mati karena kebingungan. Mana menang dan mana kalah, sebenarnya dia sendiri yang menentukan. Sebenarnya ini sederhana, tapi lebih baik permata rubahnya dikeluarkan saja. Kita tidak tahu apa yang bayi pikirkan, kan? Biarkan dia tumbuh dan melihat dulu segalanya, lalu beri dia kesempatan untuk memutuskan akan jadi apa dirinya di kemudian.” Mi Ho mengingat dengan jelas kata-kata itu, dan karenanya sekarang dia tidak bisa tenang.

Malam ini hujan turun deras sekali. Genteng rumah gemerisik, daun-daun bergelitik, genangan air pun memercik-mercik. Bagaimana tidak, dua rubah menangis sesenggukan. Mi Ho menangis sambil menciumi tangan putrinya. Di sampingnya, Dae Woong hanya bisa menepuk pundaknya. Rubah satu lagi, Na Wi, menangisi dirinya di atap gedung. Betapa menyedihkan dirinya jika Seul berlari ketakutan saat bertemu dengan dirinya besok. Na Wi memikirkan itu, bahwa Seul sudah melihat wujud aslinya, setidaknya sorot matanya yang begitu dingin dan putih. Dia berharap Seul lupa akan semuanya atau ingat tanpa menyisakan rasa takut kepadanya. Bisakah itu terjadi? pikirnya, ragu.

Bahu Mi Ho yang berguncang ditepuk-tepuk oleh tangan kiri Dae Woong, sedangkan tangan yang lain berfokus menggenggam tangan kanan Seul. Sedangkan tangan kiri Seul digenggam erat oleh Mi Ho, ibunya. Dan tangan kanan Mi Ho mendekapkan permata rubah miliknya ke dada Seul. Dalam waktu yang lama, mereka berdoa semoga Seul baik-baik saja.

“M—Uhuk!” Seul terbatuk.

“Seul-ah!” seru Mi Ho, lega.

“Eomma,” panggil Seul, lemas. Dia berkedip dengan PELAN sekali, dan dia melihat pipi ibunya basah. Dia bertanya, “Kenapa menangis? Aku tidak apa-apa,” katanya, sambil tersenyum lemas.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang