14 - 1 : BANYAK BELAJAR

93 10 0
                                    

“Cha Gu Seul!!” Seul kaget ketika suara yang sangat akrab ini tiba-tiba terdengar olehnya di tengah lorong sekolah yang ramai. Matanya secara tepat melihat Park Na Wi berlari ceria ke arahnya dan berkata, “Seul-ah, ini benar-benar berhasil!” sambil memunculkan botol permata rubah Seul di depan muka pemiliknya.

Seul buru-buru mengambil alihnya, menyembunyikannya di dalam genggaman kedua tangan. Katanya, “Ini tidak boleh sampai dilihat orang. Mereka bisa bertanya-tanya.”

“Oh, maaf,” kata Na Wi, sambil garuk-garuk kepala dan agak nyengir.

Na Wi mengambil kembali permata Seul dengan gerakan cepat. Dia mendekapnya di dada, dan berkata dengan khidmat, bahwa, “Aku akan menjaga permatamu dengan baik. Kau juga ya?”

Seul tak merespons. Dia bertanya-tanya tentang rasa benci Na Wi sebelumnya: apakah ini artinya dia dimaafkan?

“Aku memaafkanmu.” Na Wi membaca pikiran Seul. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kadang aku bisa melakukannya kalau aku berkonsentrasi hanya pada objek yang ingin ‘kubaca’.” Lalu Na Wi memasukan permata Seul ke dalam tasnya, agar tidak dilihat orang.

Na Wi ‘hanya’ berkonsentrasi pada Seul? Seul menahan sipu untuk itu.

“Bukan berarti aku menyukaimu ya!” Na Wi mengacaukan pikiran narsis Seul. “Aku hanya ... aku hanya ingin berterima kasih. Dengan begini kan artinya kau memberikan hidupmu padaku. Yah, meski hanya kehidupan manusia yang singkat. Tapi itu lebih baik daripada hidup tidak karuan. Pokoknya kau sudah memberikan hidupmu padaku, jadi aku berterima kasih.”

Na Wi tidak berbohong. Seul tahu itu.
“Seul-ah?” panggil Na Wi, canggung.

Seul mendengarkan.

“Kalau begitu, kita berteman seperti dulu lagi?” mata Na Wi menatap Seul dengan penuh harap. Dia memohon dengan sangat lewat matanya yang jernih itu. Dia benar-benar telah melupakan segalanya dan ingin berbaikan dengan Seul.

Seul mengangguk mantap.

Na Wi—yang gembira sekali—melingkari pundak Seul dengan tangan kirinya yang panjang, secara tiba-tiba dan akrab. Dia akan mengantar Seul hingga ke depan kelas, katanya. Lalu sambil berjalan santai—dan diperhatikan banyak orang dengan heran—dia berbasa-basi sombong, “Sebenarnya aku sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf. Bukankah aku ini teman yang baik?”

Seul tidak menjawab. Dia tidak merasa itu benar.

“Benar!” Na Wi meyakinkan Seul.

Seul bersedekap dan keluar dari lingkar tangan Na Wi. Dia berjalan mundur sambil bicara, “Aku mau tegaskan. Sebenarnya siapa yang melakukan kesalahan? Aku—dengan rasa khawatirku—hanya berniat untuk membantu, tapi Sunbae mendahuluinya. Dan tentang darahku itu ... bukankah Sunbae sendiri yang menghisapnya? Aku tidak pernah meminta Sunbae untuk menghisap jempolku yang berdarah atau sekedar membersihkannya dengan tisu. Dan mana kutahu kalau Sunbae itu juga ru—”

Na Wi membekam mulut Seul, dengan tangan kanan yang jempolnya menghadap ke lantai, di depan semua orang. Dan kepala bagian belakang Seul juga didekap olehnya dengan tangan satunya. Tiga detik ini terasa bagai sehari penuh bagi mereka. Keduanya bertatapan tanpa bicara. 

Beberapa orang melintas dan berbisik: ‘Apa-apaan mereka?’, ‘Mereka sudah baikan?’, “Kukira mereka akan bermusuhan selamanya. Tidak asik.’, dan lainnya. Na Wi dan Seul sama-sama mendengar semua bisik-bisik itu.

Na Wi melepaskan tangan-tangannya dari Seul, sedangkan Seul mendehem. Keduanya saling melempar pandang ke tempat yang SANGAT SANGAT jauh.

“Kalau kau mengucapkan kata itu, kau akan mati beku. Ingat itu. Aku akan selalu mengawasimu.” Na Wi mengancam, dengan canggung, dan tidak terasa menakutkan bagi Seul.
Mereka menyambung langkah kaki yang sempat terhenti barusan.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang