2. Meramu Rasa

1.5K 91 1
                                    

Pintu rumah kututup perlahan. Kuhela langkah menuju dapur setelah lebih dulu menyampirkan tas di sopa. Tenggorokkanku butuh cairan yang dingin. Aku membuka pintu kulkas lalu mengambil botol air dingin dan menuangkannya dalam gelas.

"Baru pulang, Ya."

Aku batuk-batuk mendengar sebuah suara yang kuhapal betul siapa pemiliknya. "Ayah ngangetin aja," terangku di tengah batuk yang menggganggu tenggorokanku.

Ayah mendekat, menepuk-nepuk punggungku dengan perlahan. "Makanya kalau pulang itu kasih salam, jangan nyelonong masuk aja."

Aku mengerucutkan bibir. "Ayya pikir ayah udah tidur tadi."

"Mana bisa ayah tidur kalau anak gadisnya belum pulang."

Aku berjalan di belakang ayah yang menuju ruang tengah. Ayah mendudukkan dirinya di sana, aku mengikuti kemudian dengan duduk di sampingnya.

"Kamu abis darimana pulang malam?"

"Biasanya juga pulang malam, Yah."

"Tapi kan hari ini kamu libur kerja."

Aku melirik jam yang terpajang di dinding baru meunjukkan pukul delapan malam. "Abis ketemuan sama teman."

"Laki-laki atau perempuan?" tanya ayah menyelidik.

Aku memutar bola mata bosan. Sudah berulang kali aku menjelaskan, ayah masih sulit diberi penjelasan. Ayah hanya khawatir berlebihan saja.

"Ayah jangan mulai, deh. Ayya kan udah bilang kalau teman Ayya itu cuma Hayna sama Dinar dan mereka itu perempuan."

Aku memang hanya punya mereka berdua sebagai teman yang benar-benar dekat. Aku tidak pandai bergaul. Sejak di SMP dulu, ayah sudah mulai protektif dengan semua teman-temanku akibatnya aku hanya mempunyai segelintir teman.

"Ayah hanya tidak mau kamu salah bergaul Ayya. Cuma kamu harta ayah yang sangat berharga. Ayah tidak mau kamu kenapa-napa." Saat ayah mengelus kepalaku yang tertutup hijab, aku merasa bagaikan kembali ke masa kecil. Ayah tidak pernah berubah, meskipun aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri, ayah selalu memperlakukanku bagai anak kecil. Aku tidak pernah marah atau merasa risih dengan sikap ayah sebab ayah melakukannya karena terlalu menyayangiku.

"Insyaallah, Ayya bisa menjaga diri. Ayah nggak usah khawatir." Kudekatkan badanku untuk memeluk ayah. Orang yang paling aku sayangi. Orang pertama yang mengajarkanku tentang kehidupan dan banyak hal.

"Udah malam, ayah harusnya cepat tidur. Orang tua nggak boleh tidur malam-malam," tuturku mengajaknya berdiri untuk segera tidur.

"Orang tua ini sedang mencemaskan anak gadisnya yang nakal, makanya belum bisa tidur."

"Ayya anak baik ayah, Ayya nggak nakal." Aku merenggut kesal. Ayah malah terkekeh.

Dulu sekali aku memang sedikit nakal, sedikit ya, makanya ayah selalu mengatakan aku ini anak nakal. Setiap aku pulang bermain dengan anak tetanggaku, aku selalu membuat mereka menangis. Karenanya mereka tidak mau lagi bermain denganku. Para tetanggaku dulu juga sering datang ke rumah dan mengeluhkan sikapku yang membuat anak mereka menangis. Siapa yang tidak kesal coba, mereka selalu meledek dan mengataiku yang tidak punya ibu. Sudah kukatakan pada mereka kalau aku punya ibu, tapi mereka tak percaya. Karena kesal mereka tidak mempercayaiku, aku akhirnya membuat mereka menangis. Ah, aku malu kalau ingat kelakuan masa kecilku.

Kadang, aku juga merasa iri dengan mereka yang mempunyai orang tua yang lengkap. Sementara aku? Aku hanya mempunyai ayah. Ibu sudah pergi dan tak berniat kembali. Setelah bercerai, ayah tidak menikah lagi. Kami juga memutuskan menjual rumah yang lama setelah aku tamat sekolah dasar.

Shahia TsurayyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang