6. Kabar Duka

1.5K 76 2
                                    

"Kupikir kita tidak akan bertemu lagi."

Aku terkejut mendengar suara baritonnya yang khas. Sambil menyerahkan buku menu, kulirik orang itu lewat sudut mata. "Maaf. Apa kita seakrab itu?" ucapku dengan ragu. Aku tidak tahu kenapa kalimat tersebut yang alih-alih keluar dari mulutku. Hanya saja, kupikir sedikit tidak pantas rasanya kala seorang yang tidak kamu kenal secara tiba-tiba menanyaimu dengan akrab. Kecuali bila orang tersebut mengenalmu. Itu wajar. Tapi jangankan mengenal, tahu namanya saja tidak. Dia lebih kukenal dengan si pemesan rese dan banyak maunya serta pengabdi meja no.3.

"Kamu mau berkenalan denganku?" jawabnya luwes. Tanpa beban dan pikir panjang.

Dahiku mengerut mendengar balasannya. Kuberanikan menatap balik dengan pandangan mencemooh, "tidak perlu. Saya banyak kerjaan dan tolong pesan apa yang ingin anda pesan."

Laki-laki yang memakai hoodie abu-abu itu membalik buku menu dengan tatapan menilai. Aku tersenyim sinis. Banyak gaya! Selama ini yang dia pesan kan hanya es teh manis dan sekarang sok-sok-an ingin memesan menu lain. Dan, hei, aku juga harusnya tahu itu. Untuk apa aku susah payah memberikan buku menu?

Aku membuang napas merasa dongkol.

"Apa kita bisa ngobrol sebentar nanti?"

Lagi. Ucapan ngawurnya terlontar. Aku mengeratkan pulpen dalam genggaman. "Saya sibuk."

"Setelah kamu selesai bekerja apa tidak ada waktu?"

Tidak kujawab pertanyaannya. Percuma saja. Untuk apa dia ingin mengobrol denganku? Kenal juga tidak. Dan aku malas meladeni orang asing sepertinya. Katakanlah aku bersikap tidak sopan dan terkesan sombong, aku tak peduli. Aku tidak ingin mengiyakan ajakan seorang laki-laki yang tidak kukenal.

Kuambil buku menu dari genggamannya. "Teman saya akan membawa pesanan anda." Aku berbalik, menghela langkah menjauhinya. Orang itu bahkan belum berucap apa yang mau dipesannya, tapi aku dengan sok tahunya memutuskan secara sepihak. Tak apalah. Lagipula yang mau dipesannya pasti itu lagi-itu lagi.

"Mukanya kusut banget. Kenapa?" tanya Anis saat aku menghampirinya dengan tampang cemberut.

"Lagi kesel," jawabku singkat. Menaruh buku menu di meja dan duduk di kursi khusus pekerja di belakang sekat yang memisahkan bagian depan kafe. Kutelungkupkan tangan di atas meja dan menaruh dagu di atasnya.

"Baru juga pelanggan pertama udah kesel aja." Anis mengamatiku sambil sesekali matanya melihat ke depan siapa tahu ada pelanggan yang hendak memesan.

"Tolong anterin pesanan no.3 dong, aku lagi males, nih."

"Males terus kayak gak niat kerja," sahutnya judes. "Oke, deh," katanya bergegas mengantarkan pesanan.

Aku geleng-geleng kepalanya melihat tingkahnya. Begitulah Anis. Dia kelihatannya memang judes tapi sebenarnya baik. Selama satu tahun mengenalnya, Anis adalah sosok yang menyenangkan dan bersahabat. Dia harusnya kuliah sama sepertiku, tapi karena terhambat ekonomi, Anis menjeda kuliahnya. Selama ini dia bersembunyi di balik wajah cerianya, tidak ada orang yang tahu kalau di balik wajah ceria itu tersimpan kesedihan yang mendalam.

***

"Kamu nungguin saya?" tanyaku syok melihat seorang yang menjulang tinggi sedang bersandar pada mobil entah milik siapa yang terparkir dekat dengan motorku. Masih dengan menggunakan pakaian yang sama seperti sore tadi. Hoodie abu-abu, kaos putih yang ditutupi kemeja flanel sebagai luaran, serta celana jeans robek-robek di bagian lutut. Sekilas menilik penampilannya mirip seperti orang yang asal memakai pakaian. Sekiranya itulah pendapatku.

Orang itu tak lekas menjawab. Alih-alih matanya menatap intens padaku. Aku membuang pandangan.

"Bisa tidak aku minta waktumu untuk bicara sebentar saja," ujarnya serius. Aku ingin membantah, tapi saat menatap sepasang mata yang berpendar di bawah cahaya rembulan, bibirku kelu seketika. Aku tidak pernah berhubungan dengan seorang laki-laki. Jadi jangan salahkan jantungku kalau saat ini sedang berdetak kampungan di dalam sana.

Shahia TsurayyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang