7. Tak Mungkin Ditolak

2.2K 94 11
                                    

Aku tidak suka berada dalam bangunan menyengat bau obat yang menguar tiap menghela napas. Tempat mengerikan ini tidak cocok sama sekali untuk dijadikan penginapan. Maksudku, siapa pun yang dengan terpaksa menginap di sini pasti tidak akan senang, kan? Yang ada malah mereka menampilkan raut sedih dan cemas.

Tahu apa yang lebih mengerikan?

Keberadaan Kahfi yang seolah seperti kuman mematikan yang tidak mau lepas dari si pemilik tubuh yang menjadi tempat tinggalnya. Sederhananya, dia selalu menempel padaku tanpa persetujuanku tentu saja. Aku jadi curiga kalau dia mau sok-sok'an jadi manusia paling perhatian sedunia.

"Lebih baik kamu pulang. Badanmu bau busuk."

Aku yang sedang pura-pura memejamkan mata sontak saja terbelalak dengan gaya yang nggak keren. "Kamu mengusirku?!" Aku menutup mulut kelepasan bicara terlalu nyaring. Kulirik ranjang tempat ayah berbaring. Syukurlah beliau tidak terganggu dengan nada tinggiku barusan.

Tunggu ... tadi dia bilang apalagi?

"Dan kamu juga menghinaku?" Aku memberinya tatapan maut.

Sayangnya orang itu bebal sekali. Daripada mengkerut takut, dia malah menatap rendah. Membuat darahku naik sampai ke ubun-ubun.

"Kamu ini sensitif sekali. Aku kan bicara fakta. Aroma tubuhmu saat ini mencemari udara," celanya dengan nada tenang. Laki-laki itu menyamankan diri posisi duduknya.

Memang sih dari semalam aku belum menyentuh air--dalam hal ini tentu saja mandi. Tapi apa dia harus sejelas itu mengatakannya? Begini, aku kan seorang perempuan, bagi perempuan aroma tubuh itu hal yang amat sangat sensitif. Kalau dia bermasalah dengan udara yang terkontaminasi dengan bau badanku, cobalah untuk memberi tahu dengan nada santai dan santun. Lagipula badanku tidak sebau busuk itu, kok. Ya, sedikit kecut karena bau keringat lebih tepatnya. Tapi ... hei, itu hal yang wajar, kan. Setiap orang pasti berkeringat dan bau juga. Dia itu hanya melebih-lebihkan saja.

Dasar Tuan Tidak Punya Tata Krama!

"Aku mau menunggu ayah di sini sampai siuman," tegasku tak ingin dibantah. Kembali kusandarkan punggung pada sopa--tempat kami berdua duduk karena punggungku membutuhkan sandaran yang empuk bukan kursi besi yang menyakitkan itu. Aku duduk di ujung sopa, menghindar untuk dekat-dekat dengan Kahfi.

"Kamu tidak ingat apa yang tadi pagi dokter katakan?"

Bibirku mengerucut sebal. Kenapa berbicara dengannya sangat menjengkelkan, sih.

Pagi tadi dokter mengatakan kalau kondisi ayah memang sudah baikkan. Aku harus bersyukur sebab tidak ada penyakit berat yang dideritanya. Ayah hanya kecapean serta kurang istirahat, mengakibatkan tubuhnya drop sampai harus ditangani dokter. Memang, akhir-akhir ini ayah sering tugas keluar kota untuk mengurusi hal-hal yang perlu persetujuannya. Padahal aku sudah berusaha membujuk untuk lebih mementingkan kesehatan daripada memaksakan diri seperti itu.

Sekarang aku cemas sebab ayah dari semalam belum juga siuman. Kata dokter itu efek dari obat. Tapi tetap saja aku ingin berada di sampingnya ketika beliau membuka mata.

"Ingat. Terserah dong kalau aku mau menunggu ayah di sini sampai ayah sadar. Apa hakmu mengaturku?" tantangku.

Kahfi menarik satu sisi sudut bibirnya, menampilkan senyum mengejek. "Perlu kutegaskan berkali-kali kalau kamu calon istriku, hm? Apa itu tidak cukup?"

Ish, menyebalkan!
Kenapa disaat-saat seperti ini dia harus membicarakan soal status baru yang tak pernah kusetujui itu? Aku saja ingin lupa ingatan akan hal itu kalau bisa. Kalau setiap detik dibahas terus, kapan aku lupanya.

"Apa peduliku?" Sifat keras kepala ayah sepertinya mengalir deras dalam tiap keping darahku.

"Ck. Ck. Ck. Apa kamu memang sekeras kepala itu? Harusnya kamu lebih penurut sedikit. Itu mungkin akan membuatmu sedikit terlihat manis."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Shahia TsurayyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang