Konsep - Sebuah Karya Putu Wijaya

31 2 1
                                    


Pada akhirnya saya memuat sebuah karya Putu Wijaya ini karena saya ingin. Namun terlepas dari hal itu karya ini telah membuat saya terhibur dan mendapat semangat untuk terus bertahan pada apa yang menjadi sebuah pemikiran akan karya-karya saya yang sebenarnya tak layak namun tetap harus dihargai meskipun itu hanya oleh diri sendiri.

Selanjutnya inilah "'KONSEP'' yang saya maksud ...

KONSEP

Oleh

Putu Wijaya

I

Kesenian adalah salah satu alat utnuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas. Seperti sebuah baskom ia menampung darah yang keluar dari leher seniman yang menggorok dirinya, menggorok orang lain, situasi, problematik, lingkungan, misteri, makna-makna yang berserak, menempel, terapung bersembunyi di mana-mana. Ia menolong memaketkan, memberi pigura kadangkala menyamarkan, menggelapkan, menyandi, mengawetkan, membebaskan dari kurun waktu dan ruang, memberi potensi untuk menembus segala kesulitan, perbedaan, jarak, intelegensia, intelektual, latar belakang, perbedaan ras, bahasa, bangsa dan ideologi. Sebagai akibatnya makna yang hendak disemprotkan itu mengalami proses, mengembang dan mengempis, masuk ke dalam satu kehidupan yang memungkinkan dia tumbuh, mandiri dan menelorkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir dan terasakan oleh manusia yang menggarapnya.

Kesenian dengan demikian tidak hanya bentuk-bentuk, bukan hanya satu wadah mati, bukan hanya saluran mati, tetapi adalah tanah untuk menanam, menyimpan, membudidayakan makna-makna untuk diwariskan kepada manusia lain. Ia dapat merupakan ladang, sawah, kebon, tegalan, padang liar, rimba belantara, gurun pasir, bukit, gunung, lembah, ngarai, danau, laut, sumur bahkan mungkin juga kuburan. Proses yang terjadi di atas tanah itu selanjutnya sangat menentukan. Lingkungannya, saatnya dan orang-orang yang menyentuhnya, mempergunakannya atau menerimanya merupakan bagian-bagian yang bisa menyebabkan makna semula memilki kemungkinan yang tak terduga.

II

Menulis bagi saya adalah menggorok leher. Leher sendiri atau milik siapa saja, tetapi tanpa menyakiti yang bersangkutan, bahkan kalau bisa tanpa diketahui. Ini semacam pencurian, kucing-kucingan, akal-akalan, kadangkala dengan ngumpet-ngumpet, bila perlu mnghapus jejak sama sekali. Sama sekali tidak memiliki pretensi untuk memberikan resep apalagi melahirkan pahlawan. Hanya menyerek orang untuk melihat begitu banyak alternative yang ada di sekitar yang bertumpuk, cakar-cakaran dan memecah manusia menjadi individu-individu atau kelompok-kelompok.

Saya memilih anekdot. Hal-hal lucu remeh, aneh kadangkala tak masuk akal, untuk mengagetkan, mecubit, menarik perhatian,mengganggu, memteror orang supaya terhenti sebentar, lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia juga manusia seperti orang lain. Dia bukan alat, system, aliran, jalan pikiran, tentara, polisi, pedagang dan sebagainya, tapi jiwa dan raga. Bahwa terlepas dari kelompok, tingkat kecerdasa, tingkat social dan kepentingan dia juga manusia seperti orang lain yang secara elementer sama. Rata-rata punya rasa suka-duka, cinta, bahagia dan seterusnya.

Pada akhirnya apa yang saya tulis itu, baik merupakan cerpen, novel, esei, resensi, drama. Skenario dan sebagainya tidaklah lebih penting dari apa yang kemudian terjadi dalam diri orang. Dengan kecenderungan dan pelbagai latar belakang, setiap orang akan memilki tanggapan lain, kesan yang lain, reaksi yang lain lalu kesimpulannya sendiri. Sebagian besar mereka mungkin sekali akan mengatakan bahwa apa yang saya tulis adalah gombal.

III

Menulis tiba-tiba menjadi usaha untuk mengingatkan kepada orang lain yang akan menjadi pembaca, bahwa dia manusia. Mengembalikan ia kembali pada hakikat manusianya kalau ia sudah menjadi barang, binatang, dewa atau mayat. Semacam usaha untuk menyulut, menghidupkan, tapi bukan untuk mengabdi kepada sesuatu apalagi menjadi budak dari suatu tirani pikiran, baik bernama ideologi, kepercayaan bahkan juga agama.

Dear AuthorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang