Mengapa ada kata cinta jika itu hanya sekedar obsesi?
Entahlah..
Cinta itu rumit, bahkan rumus matematika yang paling rumit pun bisa kalah saing dengan rumus percintaan..
•••••
Pukul 07.30
Matahari menyembul keluar malu-malu menampakkan sinarnya menyinari pagi ini dengan membawa pesan yang baik. Di bawah sinar matahari tersebut terdapat banyak manusia yang melakukan aktivitasnya di pagi itu. Salah satunya yaitu seorang gadis yang sedang duduk santai di bawah pohon rindang yang terdapat di sebuah taman belakang sekolah. Dengan seragam rapi dan rambut ikal yang menjuntai kebawah tak lupa buku harian yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Hanasia Guelder Rose. Namanya yang begitu indah juga parasnya yang terbilang menawan dapat memikat siapa saja yang melihatnya. Sinar matahari yang menyinari wajahnya terlihat sangat jelas pesonanya.
Dari koridor yang berada di seberang taman terdapat Putra yang tengah memandangi wajah Sia, sekilas tampak terlihat senyumnya, namun sedetik kemudian senyum itu pudar saat ia melihat kedatangan Arta. Hatinya meraung-raung di dalam sana entah sedang meraungi nama siapa, masih samar-samar ia rasakan. Tak peduli dengan itu ia pun memilih pergi menuju kelasnya karena bel sekolah telah berbunyi.
"Ayo Sia, cepetan!! Udah masuk tahu," Arta menarik paksa pergelangan tangan Sia.
"Iya iya gue bisa jalan sendiri, lepas deh tangan gue!" balas sia, ia berdiri menegakkan tubuhnya lalu berjalan dengan gontai mengikuti langkah Arta.
"Tuh kan lo tuh kalo gak di tuntun pasti jalannya lama deh," rengek Arta.
Sia memutar bola matanya malas, "Ck, lo kan tahu jam segini tuh nyawa gue masih belum sepenuhnya kekumpul, masih di awang-awang tahu," Arta menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dengan wajah yang dibuat kesal, "Kalo nulis di buku harian aja semangat lo dua kali lipat lebih semangat dari persenan nyawa lo, giliran belajar? Nyawa lo ilang semua deh."
Sia tertawa terbahak-bahak mendengar komentar yang di lontarkan oleh Arta. Memang semua perkataan Arta sepenuhnya adalah benar, jika diingat Sia memang termasuk murid yang terbilang sangat malas, namun Arta suka heran dengan teman yang satunya ini. Sia sangat pantas dibilang anak yang malas, tetapi prestasi yang dimilikinya tidak bisa di ragukan oleh siapapun. Sia selalu menjadi yang nomor satu dalam belajar di kelas, sekolah maupun luar sekolah, IQ yang dimilikinya pun setara dengan orang-orang yang sudah ahli dalam bekerja padahal Sia sendiri masih duduk di bangku kelas tiga SMA, wajar saja jika ia bisa bekerja di perusahaan ternama di Jakarta.
Brukkk!!
Tiba-tiba saja Sia terjatuh tersungkur di lantai, Arta melihat itu terkejut di tempat.
"Aww," raungnya. "Lo gak ada niat buat bantuin gue gitu? Masa gue di pandang doang!!" lanjutnya berbicara kepada Arta, Arta yang sadar dari keterkejutannya spontan memberi bantuan kepada Sia.
"Lo kenapa si Sa?" ucapnya sambil membantu Sia berdiri.
"Jatoh," balas Sia dengan santai.
Arta melotot sempurna dengan decakan sebal "gue tahu lo jatoh, maksudnya kenapa ko bisa sih,"
"Ya kalau gue tahu gue jatoh, gue gak bakal jatoh. Karena pasti gue bakal menghindar sebelum jatoh," ucapnya, namun matanya seperti mencari sesuatu yang membuat Arta merasa ganjil dengan tingkah temannya itu.
"Lo nyari apa sih Sa?"
"Tapi kayanya tadi gue kaya nyelengkat sesuatu deh, apa ya?" jawabnya masih mencari-cari, Arta pun ikut mencari sesuatu yang dimaksud oleh Sia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us
Teen Fiction"Lo tau? bahagia gue sederhana, bisa milikin lo selamanya sampai lo jd bagian dari hidup gue, punya anak dari lo, ngerawat lo, bahagia bareng sama lo sampai gue jadi nenek dan lo jadi kake dan yang paling penting sampai maut memisahkan lo dan gue di...