Untuk A, keempat kali.
Tulisanku kali ini masih tentangmu, A. Masih tentang aku yang tak pernah bisa memilikimu. Masih tentang aku yang selalu ingin kita menyatu dan menjadi satu. Masih tentang aku, yang bahkan hanya bisa sebatas mengagumimu.
Katanya biarkan saja, lama - lama aku juga akan terbiasa. Tetapi, kenapa semakin hari, luka dihatiku semakin melebar, ya? Bahkan saat kita tak pernah sekalipun berkabar, cintaku padamu malah semakin ' berkibar '.
Kali ini semesta benar, bahwa yang datang tiba - tiba, juga bisa pergi tanpa memberi aba - aba. Ah, kamu bahkan tak pernah benar - benar datang. Bagaimana bisa aku merasa kamu semakin hilang dari pandangan? Duh, kadang kalau sudah menaruh rasa, memang suka kebla - blasan.
Seharusnya sama saat seperti jatuh cinta yang tak dipaksa. Maka proses menjadi baik - baik saja pun juga seperti biasa. Dia tak pernah benar - benar ada. Seharusnya pelan - pelan tahu, porsiku sampai dimana.
Aku selalu menuntut takdir bahwa kenapa diriku tak pernah bisa bahagia. Tapi nyatanya semua salahku, yang memilih duka bertopeng bahagia diwajahnya.
Barangkali aku mulai lupa, bahwa semua yang ada didunia, bisa sirna kapan saja, bisa hilang kapan saja, bisa pergi kapan saja, tanpa perlu menunggu siap untuk ditinggal olehnya yang bahkan tak pernah benar - benar ada.
Pertanyaanku kali ini, Sampai kapan menaruh rasa yang tak tahu siapa pemiliknya? Nanti jangan marah, ya? Kalau terluka lagi karena rasamu yang terlalu besar padanya.
' 19.59 '
KAMU SEDANG MEMBACA
A.
PoetryTulisan ini khusus kupersembahkan untukmu, yang tak pernah tahu bahwa aku selalu menyimpan rasa. Seperti titik dalam sebuah kalimat, kita juga berakhir tanpa alasan yang tepat. -Nug.