Musim dingin, 2005
Park Jimin, menaruh harapan pada hari yang selalu berganti. Bahwa ketika kelopak matanya terbuka esok hari, segalanya akan berubah seperti yang selalu ia minta pada Tuhan.
Bocah berusia delapan tahun yang sudah harus menjadi tameng yang kuat untuk sang adik. Melindunginya dari apapun yang berusaha menyakitinya.
Bagi Jimin, cukup dengan melihat senyum sang adik, ia merasa mampu kembali bertahan ketika dirinya mulai merasa jengah pada takdir yang begitu kejam.
Hanya dengan menatap mata berbinar sang adik, itu saja sudah cukup untuk menghangatkan hatinya, meski secara bersamaan juga membawa rasa sakit itu kembali datang.
Ketika mata mereka bertemu, ia kembali diingatkan pada sosok sang ibu yang sudah meninggalkan mereka lebih dulu.
Meninggalkannya bersama monster bernama ayah.
"Aku tau kau masih menyimpan uang yang diberikan Ibumu sebelum dia mati. Sekarang berikan!!!" bentak sang ayah seraya menarik kerah baju Jimin hingga anak itu berjinjit, namun Jimin sama sekali tidak menjawab. Ia bahkan lebih rela menatap dinding di sisinya ketimbang sepasang iris sang ayah yang menatapnya penuh kilatan marah. Belum lagi bau alkohol yang keluar bersama setiap hembusan napas gusar ayahnya membuatnya begitu mual.
"Kau tidak mendengarku, eoh? Mau melawan Ayahmu?! Cepat berikan!!!"
Dengan lemah Jimin menggeleng, gerakan bibirnya yang begitu sempit mengatakan "tidak mau" membuat sang ayah murka dan menghempaskan tubuh kecilnya ke dinding hingga suara benturannya menggema di dalam ruangan sempit itu.
"Anak tidak berguna!!!"
Pria itu berteriak lantang, seolah siap menjadi lagu tidur untuk mereka di malam bersalju kala itu. Mengiringi setiap detik jarum jam yang bergerak sebelum keduanya terlelap menuju dunia yang lebih indah tanpa beban dan teriakan.
Tidak ada hal lain yang bisa Jimin kecil lakukan selain menerima semua perlakuan sang ayah tanpa melawan, dan berusaha terlihat 'tidak apa-apa' karena tanpa sengaja ia melihat adiknya sedang menahan tangis di ujung sana.
"Aku akan keluar untuk menyelesaikan urusanku. Selama itu, keluarkan semua uang yang Ibumu simpan."
Pria itu menatap Jimin tajam, kemudian menyambar jaket lusuhnya yang terkapar di lantai kamar sang anak.
"Jika saat aku kembali kau tidak juga memberikannya, bersiaplah untuk menemui Ibumu di neraka!"
Suara pintu yang dibanting keras setelahnya membuat keduanya terpanjat. Sang ayah sudah tidak ada, dan untuk sesaat Jimin bisa bernapas lega.
Suasana senyap yang menegangkan perlahan terganti dengan suara isak tangis sang adik, anak itu bergegas menghampiri Jimin yang masih bersandar pada dinding kamarnya yang catnya sudah terkelupas.
"Kakak...."
Tubuh yang lebih kecil itu memeluk sang kakak dan terisak di pundaknya. Tangan mungilnya memeluk Jimin erat.
Jimin hanya bisa mengusap punggung kecil adiknya seraya membisikkan kata penenang. Karena sungguh, hatinya selalu sakit jika mendengar tangisan keluar dari bibir kecil itu.
"Sudah ya, jangan menangis." Jimin berbisik lirih. Susah payah ia menahan air matanya yang bersiap jatuh. Ia tak bisa menangis. Tidak boleh.
Jimin adalah Kakak dan Jimin tidak boleh cengeng.
Jimin memejamkan matanya kala suara lembut sang ibu berbisik di telinganya.
"Tapi Ayah kasar pada Kakak. Pasti sakit, 'kan, Kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ MOONCHILD | Park Jimin
RandomMereka yang dipisahkan pada akhirnya kembali bertemu, namun dengan keadaan yang tidak lagi sama. "Taehyung-ah" "Apa sebelumnya kita saling mengenal?" ©Lswaga