01

40 1 0
                                    


I complained to you, why were you so late?
What have you been doing till now?
But you just smiled like a child
- Stella Jang -



Hujan sudah berhenti sejak 20 menit yang lalu namun rasa dingin di cafe itu semakin menjadi. Di sudut kaca dekat taman Cafe, gadis berambut coklat tua seleher terlihat mengeratkan jaket denimnya yang menutupi longdress berwarna baby pink. Sayangnya hal ini tidak membuatnya lebih hangat.
Marie meminum cappuchino-nya yang tidak lagi hangat dan menatap jam di tangan sekali lagi. 

Sudah lebih satu windu mereka berteman, bukan sekali dua kali ia menunggu. Temannya itu memang jam karet. Jika ia bilang datang jam 12 artinya dia datang jam 3, jika ia bilang datang jam 5 sore artinya dia datang jam 8 malam.
Tadi dia bilang datang jam 2 artinya ia akan datang jam 4.

Setengah jam lagi.
Ia mengutuk dirinya sendiri karena selalu melupakan kebiasaan buruk temannya.
Andai mereka tidak berteman sejak lama. Mungkin ia tidak akan rela menunggu temannya selama ini.

Tring..
Terdengar suara bel di dekat pintu tanda seseorang datang.
Terlihat sepasang muda-mudi masuk sambil beradu mulut.

Lagi-lagi mereka bertengkar.
Entah apa lagi yang yang mereka perselisihkan kali ini?
Mereka pasangan yang selalu bertengkar tanpa memperdulikan kapan dan dimana.
Sayangnya harus ada campur tangan dari orang lain agar mereka gencatan senjata.
Ini juga hal yang paling menjemukan dari pertemanan mereka karena mau tidak mau dirinyalah yang harus jadi pihak ke tiga.
Kadang kala ia berharap tidak pernah mengenal mereka dari awal.
Marie menatap pasangan ini sampai mereka menyadari kehadirannya di meja ini, mungkin saja tidak.

Tok tok tok.
Marie mengetuk meja di depannya.
"Apa masih lama?"
Mereka terhenti sebentar dan menatap Marie. Mungkin sekarang mereka baru sadar.

"Ah maaf kamu menunggu lama ya?
Gevan tadi hampir menabrak motor orang" jawab Puan, sahabat Marie sambil meminta maaf.
"Oke, jadi ada yang terluka?" Tanya Marie dingin. Ia tidak terlalu khawatir karena keduanya tampak baik-baik saja.
Buktinya mereka masih memiliki tenaga untuk bertengkar.

"Tidak, tentu tidak." jawab Gevan kali ini.
Sahabatnya mendelik kesal.
"Hampir Gevan, makanya aku bilang berkali-kali jangan begadang main game. Kamu tahu menyetir sambil mengantuk itu bahaya". Desisnya berbahaya.

"Aku gag ngantuk sayang, motor itu tiba-tiba berbelok di depan aku tanpa lampu sen".

Rasanya kepala Marie mulai pecah.
AC di ruangan ini seakan memperparah keadaannya. Perutnya juga mulai perih karena perutnya yang kosong sudah diisi dengan kafein.
Kapan terakhir kali ia makan?
Kemarin malam? Atau pagi?
Ia lupa.
Terlalu banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan.
Kenapa kedua pasangan ini selalu bertengkar padahal mereka baru menikah enam minggu yang lalu.

Catat! Enam minggu yang lalu.
Bukannya mereka harus seperti lovebird?

Sial.
Tubuhnya tidak bisa berkompromi.

"Gevan, Puan. Aku paham kalian belum puas bertengkar. Mungkin sebaiknya kita pulang saja, jadi kalian bisa melanjutkannya di rumah". Ucapnya sambil memasukan laptop vaio yang sudah ia tutup dari tadi.

Keduanya menjadi salah tingkah. Kenapa mereka harus bertengkar di depan Marie. Padahal mereka bertemu karena Puan yang meminta Marie untuk meluangkan waktu kosongnya.

Puan langsung duduk di samping Marie dan memeluknya manja dan Gevan langsung memberikan oleh-oleh honeymoon nya dari Thailand. Kedua memberikan senyuman ala pepsodent.

"Bagaimana dengan Ridwan? Katanya kemarin dia mau bertemu dengan mu".
Kedua pasangan menatap Marie menunggu dirinya bercerita.

"Seperti biasa". Jawabnya sambil mempertahankan nada datarnya.
Marie tidak mungkin mengatakan kalau lelaki itu terlalu banyak omong kosong bukan?

"Sial, kali ini apalagi?" tanya Puan kesal.
Marie hanya mengangkat bahunya tidak tahu.
"Sudah kubilang aku tidak butuh seseorang, Jadi ku mohon berhentilah".

Puan merupakan teman pertama saat di SMP bagi Marie. Kemudian ia mengenal Gevan 8 tahun yang lalu karena ia merupakan pacar Puan. 
Begitulah akhirnya mereka bersahabat.
Keduanya seperti saudara bagi Marie.
Mereka terlalu peduli pada Marie sampai kadang-kekanakan.
Marie tidak bisa marah pada keduanya.

Sahabatnya mengerlingkan matanya kepada suaminya.
Marie hapal jurus mereka berdua.
Mereka pasti ingin menjodohkannya lagi dengan orang lain.

"Aku tidak mau!". Ucap Marie tegas.
Puan cemberut seketika.

Demi tuhan, dalam satu bulan ini sudah ada 21 orang yang dikenalkan oleh mereka berdua.
21 orang!
Jangan tanyakan bulan-bulan sebelumnya. Marie mengiyakan pertemuan ini juga karena ingin menghentikan aksi konyol mereka.

"Aku belum mengatakan apapun, tapi ku jamin kali ini berbeda" janji Puan bak sales.

Marie tahu semua orang khawatir.
Saat ini ia menginjak usia 27 tahun, tidak muda lagi memang. Semua kawannya sudah memiliki satu atau dua anak.

Lagi-lagi bagaimana bisa ia berbahagia dengan orang lain saat dirinya sendiri tidak bisa membahagiakan dirinya sendiri?

Ia tidak perlu mengatakannya.
Ia hanya perlu bertahan sendiri.
Hidup ini tidak buruk juga baginya.

"Aku tahu niatmu baik tapi aku benar-benar tidak membutuhkan siapapun untuk menyempurnakan hidupku".

Marie mengenggam kedua tangannya kuat-kuat menahan nyeri di perutnya. Semakin berdebat rasa sakitnya kian menghujam. Keduanya tidak boleh tahu atau besok akan ada puluhan perjodohan lainnya karena ini.

"Tidak semua laki-laki sama, dia benar-benar.." ucapan Puan segera terpotong saat Marie beranjak dari kursinya.

"Marie, aku belum selesai bicara".

Gadis itu menghapus keringat di dahinya.

"Nanti saja kita lanjutkan, aku lupa ada janji" ucapnya sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

"Apa aku keterlaluan?" Tanya Puan pada suaminya selepas Marie pergi.
"Ya, kita bahkan belum bertanya kabarnya, aku lihat wajahnya agak pucat". Ucap Gevan khawatir.
"Lalu kenapa kamu biarkan dia pergi bodoh?"
"Karena ia akan makin sakit mendengar omelanmu". Ucap Gevan dalam hati.
"Ah aku lupa, Ale tadi mau datang kesini". Desah Puan sambil mencari Handphonenya. Ia harus menyuruhnya tidak datang.

Marie berjalan sambil mengeratkan tangan ke perutnya. Pandangannya seakan buyar. Sepertinya ia tidak bisa berjalan lagi. Ia berpegangan pada tiang lampu dekat cafenya.

Ia menguatkan tekadnya bertahan sebentar lagi. Ia sudah bisa keluar dari  cafe, tinggal mencari taxi untuk pulang.
Sebentar lagi.
Ia bisa saja melanjutkan langkahnya kalau saja tidak tertabrak seseorang yang berlari.
Mungkin ia akan jatuh ke tanah.
Marie sudah tidak peduli.
Hari yang buruk untuk kesekian kali.
Ia hanya perlu mengobati lukanya besok.

"Nice catch".
Kali ini ia tidak akan kesakitan.



To be Continued

Don't forget to vote :)

RingelblumeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang