Chapter 1: The Girl Who Flies

158 20 72
                                    

Riuh obrolan siswa-siswi SMA Greenville menjauh meninggalkan Jaden yang masih termenung di bangku taman sekolah. Dia memandangi daun-daun yang melayang ditiup angin sambil bergumam pada dirinya sendiri. Apa yang salah? Semua tampak normal. Ia dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, nilainya semester ini pun tidak terlalu buruk, apalagi sebentar lagi adalah ulang tahunnya ke-17. Namun ada suatu kekosongan dalam hatinya, sesuatu yang hilang.

Jaden membangunkan dirinya sendiri dari lamunan tak jelas itu, kini ia berjalan kembali ke kelas. Ia kemudian mengemas buku-bukunya dan memasukkan mereka ke backpack yang masih terduduk di kursi.

"Belum pulang?" tanya seseorang. Valery, seorang siswi berambut cepak dengan ripped jeans dan kaus oblong mengunyah permen karet sambil menatapnya.

"Mau pulang. Kau sendiri?" sahut Jaden tanpa menoleh, mengambil sebuah pensil yang terjatuh ke kolong meja.

Valery menggeleng. "Detensi dengan Mrs. McGregor. Nenek tua itu tak pernah membiarkanku pulang cepat, kau tahu. Tapi aku sudah kebal, jadi tidak masalah. Ngomong-ngomong tadi Fiona mencarimu."

Duk! Jaden terantuk meja dan mengumpat. Valery tergelak.

"Kenapa kaget? Seharusnya kan kau senang dicari oleh wanita impianmu," sindir Valery seraya masih tergelak.

Perihal Jaden dan Fiona adalah rahasia umum yang sedikit memalukan. Minggu lalu Fiona menangis keras-keras saat pembacaan puisi cinta di pelajaran bahasa Inggris, yang semua orang tahu ditujukan untuk Jaden, kecuali Professor Andrews tanpa curiga memberikan nilai A untuk penghayatannya. Memang akan menjadi romantis kalau mereka masih pacaran dan kalau puisi itu tidak berbunyi seperti ini:

Oh, Pangeran tampanku, teganya dirimu mengakhiri hubungan kita

Padahal kukira kau akan menjadi ayah anak-anakku

Padahal Jad ... —dia hampir menyebut nama— kaulah segalanya dalam hidupku

Membuatku bahkan lupa untuk menonton acara TV kesukaanku

Membuatku mengoceh dalam tidur, membayangkanmu

Membayangkan senyumanmu yang bahkan lebih indah dari Noah Centineo

Aku masih menantikan belaian tangan besarmu

Dan rambutmu yang jatuh ke wajahmu dengan berantakan

Menyentuh kepalamu walau kadang kau lupa mencucinya

Aku ingin kembali seperti dulu

Wahai, Ja ... —benar, hampir menyebut namanya lagi, lalu cepat-cepat meralat— Pangeran tampanku

Jaden mengumpat lebih keras, tapi masih tersenyum ramah pada Valery. "Cukup soal itu, okay? Aku duluan," pamitnya sambil lalu.

Jaden sebenarnya agak merasa kasihan pada Fiona, tapi cewek itu terlalu sensitif. Lagipula ia mengencaninya memang dari awal bukan karena cinta, karena cewek itu terus mengganggu setiap siswi yang dekat dengan Jaden, sehingga Jaden kasihan bahwa mereka harus mengalami masa yang sulit hanya karena satu kelompok projek dengannya. Setiap siswi kecuali Valery tentu saja, dia bisa melindungi dirinya sendiri dan dia tidak tertarik pada cowok.

Matahari hampir tenggelam ketika Jaden berhenti di swalayan untuk membeli soda. Waktu hendak membayar, seorang cewek ber-hoodie hitam menabraknya dari belakang dan berkata "sorry" cepat-cepat lalu meninggalkan toko itu. Anehnya dia tak tampak membeli apapun, apa yang ia lakukan di sana kalau begitu?

"Hey, kau yakin dia tidak mencuri sesuatu?" Jaden berbisik pada nyonya kasir.

"Negatif. Aku mengawasinya di kamera CCTV," kini wanita itu balas berbisik, "namun sepertinya dia tertarik padamu, dia tak memalingkan pandangannya padamu sedari tadi, Nak."

Jaden tak pikir panjang ketika gelombang kesadaran menghantamnya. Ia berlari keluar tanpa menghiraukan nyonya kasir yang memanggilnya untuk kembali. Jaden meraba kantongnya dan benar kalau ia kehilangan dompetnya. Pencuri! Ia harus mendapatkan kembali dompetnya.

Untuk ukuran cewek, si pencuri berlari terlalu kencang. Jaden bertanya dalam hati apakah dia transgender. Klakson mobil berbunyi nyaring di sana-sini ketika Jaden menyeberang paksa untuk mengimbangi pencuri dompetnya. Cewek itu melemparkan sesuatu sembari masih berlari, dompetnya. Jaden berhenti lalu memungutnya tentu saja. Aneh, dia tidak mengambil apapun. Uangnya masih utuh. Jaden menatap si cewek dengan kaget karena tiba-tiba dia tepat di hadapannya. Wajah mereka sangat dekat, beberapa inci saja jarak antara mata mereka. Jaden begitu tercekat hingga ia tak mampu berkata apapun, bahkan ia kesulitan bernapas. Mata cewek itu berwarna violet dengan lingkaran abu-abu pada tengahnya, begitu besar dan indah. Jaden meneguk saliva banyak-banyak dan berkedip. Cewek itu sudah menghilang.

Jaden melihat sekelilingnya dan menyangka bahwa indera pengelihatannya membohonginya, atau bahwa pikirannya sudah tidak waras. Cewek misterius itu ada di langit di atasnya. Dia terbang.



^^^

Haii... aku author baru (baru muncul dari hibernasi)

Part ini sudah direvisi berdasarkan petuah para author senior yang mau berbaik hati menyumbang ilmu, terima kasih :D

Maaf baru sedikit, boleh komen & vote, trims

-Avi

Jaden's Magical ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang