Chapter 5: The Screaming Forest

40 4 5
                                    

Di sisi selatan Kota Greenville, terbentang sebuah hutan kecil yang dijuluki Hutan Jeritan, tentu saja karena hutan itu angker oleh jeritan-jeritan menyeramkan yang sering didengar warga sekitar. Burung-burung berkicau bahwa dulunya tempat itu adalah markas penyihir.

Reputasinya membuat Hutan Jeritan dijauhi orang, bahkan para pemburu akan berpikir dua kali untuk ke sana pada siang hari. Namun malam itu, dua remaja laki-laki mengendap-endap menyusuri jalur setapak di sana. Salah seorang memegang kamera, yang lainnya membawa mikrofon mini dan menyorot senter.

"Dude, rekam yang benar! Bagaimana siaran ini bisa mendapat penonton kalau kerjaanmu hanya merekam gambar buram bergetar!" seru remaja yang lebih tinggi sambil menekan tombol off kamera digital rekannya, lalu memukulnya dengan gagang senter.

Rekannya itu mengaduh namun tetap bungkam setelahnya, agaknya ia lebih sibuk gemetaran daripada memikirkan makian balasan. Matanya menyapu kegelapan hutan, berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu ada yang melompat dari semak-semak. Udara dingin musim gugur memperburuk suasana. Rambut tengkuknya sudah berdiri tidak keruan.

"Entahlah Jason, kurasa lebih baik kita pulang sekarang. Aku punya firasat buruk tentang ini," ujarnya setelah beberapa saat.

Jason memutar mata. "Ayolah, Ed. Kita bawa senjata, ingat?" Jason menarik sebuah revolver dari saku jaketnya. "Kita akan baik-baik saja meskipun ada singa, serigala, ataupun rusa gila. Kecuali kau lebih memilih berimajinasi liar dan mempercayai isapan jempol para manusia tak berpendidikan, bangunlah! Jangan jadi pengecut dan jangan mengencingi dirimu sendiri!"

Mereka masih beranjak. Langkah demi langkah mengantar mereka semakin dekat pada suatu gua yang rumornya menjadi peristirahatan terakhir para penyihir. Beberapa menit dan tampaklah mulut gua itu, yang sudah disumpal batu raksasa. Hanya suara burung hantu yang terdengar di sana-sini, selebihnya malam itu sunyi.

Jason memberi kode pada Ed untuk memulai siaran lalu Ed menekan tombol berlingkaran merah. "Hei guys! Kembali bersama Ghost X-Force!" Jason menyilangkan tangannya. "Malam ini kita mengunjungi sebuah tempat spesial yang pastinya seram dan penuh dengan hantu ... Hutan Jeritan. Konon katanya dari tempat ini, para pemburu sering mendengar tangisan wanita kesakitan. Benar! Sejarah menyebutkan bahwa para penyihir yang bersembunyi di Greenville pada abad ke-18 memang dikuliti lalu dibakar hidup-hidup di hutan ini. Arwah mereka gentayangan namun tidak bisa keluar dari sana." Jason menunjuk gua di belakangnya. "Karena telah disegel sebuah batu raksasa, mereka tidak dapat menemukan jalan ke tubuh lain sedangkan tubuh asli mereka sudah menjadi abu. Lihat, aku tidak bermaksud religius di sini, namun menurut kaum Kristian, batu itu dimaksudkan melambangkan kematian seperti dalam Alkitab di mana hanya Yesus yang bisa mengalahkannya dengan menggulingkan batu raksasa penutup kuburnya. Sehingga para penyihir jahat yang telah mati akan tetap mati, terperangkap dalam kubur mereka. Maka dari itu, malam ini akan kucoba sesuatu yang gila yang kujamin belum pernah kalian lihat sebelumnya. Aku akan mencoba menggulingkan batu itu! Ini akan sangat mengasyikan!"

Kedua remaja itu sekarang berdiri di samping batu penutup gua. Jason menggosok-gosokkan kedua tangannya bersiap-siap, sementara Ed berusaha mati-matian untuk menjaga stabilitas posisi kamera. Ed mengacungkan jempolnya, yang dibalas anggukan singkat oleh Jason. "Percobaan pertama!" seru Jason sambil tersenyum lebar.

Jason mendorong batu itu dengan percuma, sama sekali tidak berguling. Ia terus melakukan hal tidak berguna itu dengan mengesampingkan getaran tangan Ed yang menjadi-jadi. Percobaan kedua sama gagalnya, dan percobaan ketiga dan keempat. Namun Jason masih terlalu bersemangat karena penonton mereka sudah bertambah kira-kira lima ratus orang. Jason mulai menendang batu itu sampai kakinya sakit, mendorong dengan punggungnya, meninju batu itu berulang-ulang, hingga pada percobaan kesembilan secara ajaib batu itu sedikit bergeser.

Jason melonjak kegirangan. Ia tidak menyadari bahwasanya udara di sekitar mereka bertambah dingin hingga -5° C. Burung hantu terbang menjauh, dan awan gelap menutupi cahaya bulan. Ia memberi kode pada Ed untuk mendekat dan menyorot isi gua. Awalnya tidak tampak apapun kecuali sarang laba-laba yang menyelimuti stalaktitnya serta beberapa tikus yang mencicit menyeberangi lantai gua.

Mendadak, sebuah mata merah seram memenuhi layar kamera, menatap tajam dari dalam gua.

Ed menjatuhkan kameranya lalu beranjak mundur. Jason ikut menyadari apa yang barusan mereka lihat. Mereka memekik serempak serta mulai bersumpah serapah, lari-terbirit-birit secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Ed tiba-tiba ingat dia meninggalkan kameranya yang jatuh di rumput-rumput. Dia berbalik sejenak, menyabet kameranya dan kembali berlari. Namun jalan setapaknya hilang digantikan pohon-pohon asing yang belum pernah ia lihat. Dia tidak berhasil menemukan jalur mereka. Jason pun menghilang. Ed memanggil Jason berulang kali, namun tetap tak ada sahutan. Napasnya berat, ia terengah-engh dan ia sungguh-sungguh tersesat.

Sebelum menyadari bahwa matanya berair, Ed menggumamkan doa-doa yang berhasil diingatnya. Dalam kegelapan, ia merasa sesosok bayangan hitam yang menyerupai manusia mengamatinya dari antara pepohonan. Gumaman doanya kenudian berubah menjadi teriakan putus asa nyaring. Namun sosok itu tidak menghilang, justru melangkah semakin dekat. Sekarang Ed melihat jubah hitam sosok itu berkibar ditiup angin. Di tangan kanannya, sebuah tongkat panjang teracungkan ke arah Ed.

Terdengar suara letupan senjata api. Ed sedikit merasa lega ketika Jason muncul membidik sosok itu dengan revolvernya. Ed menyangka bidikan kedua akan berhasil menyelamatkan nyawanya namun ia tidak mampu melihat jelas apa yang terjadi dalam gelap malam. Ini sudah kesekian kali Jason menembakkan revolvernya, sosok itu masih berdiri tegak.

Sosok itu mendesis, detik berikutnya kamera Ed meledak melukai tangannya. Ed jatuh terduduk. Kesepuluh jemarinya keropos, seperti digigiti tikus, darah mengucur deras dari sana. Ed menjerit kesakitan. Pandangannya buram, namun ia masih bisa melihat tongkat yang teracung ke arahnya. Tanah yang ia duduki bergetar, retakan muncul mengelilinginya. Pasir-pasir bergulir menghisap kakinya yang mendadak tak bisa digerakkan.

Jason berusaha menolongnya. Darah dari tangan Ed mengaliri lengan jaketnya ketika ia hendak membantu Ed berdiri. Namun tubuh Ed begitu berat seakan menempel lengket dengan tanah. Gravitasi seperti sudah dimanipulasi. Semakin lama, Ed makin terjerumus ditelan bumi.

Kini wajah Jason penuh air mata dan keringat dingin. Ia memohon pada si sosok untuk tidak membunuh mereka. Namun sosok itu tidak mendengarkan. Ia menghantam kepala Jason dengan tongkatnya hingga pingsan sementara Ed telah terkubur dalam tanah sepenuhnya.

***

Layar ponsel Jaden menghitam. Aneh, padahal energi baterainya masih hampir penuh.

"Apa mereka tidak apa-apa?" suara Will mengejutkannya dari belakang sofa.

"Entahlah, kurasa ponselku rusak. Tapi hampir seratus persen mereka baik-baik saja, ini bukan pertama kalinya Jason dan Ed membuat siaran palsu."

Jaden menekan tombol back, ponselnya langsung menyala. Ia menatap Will heran sebab ternyata ponselnya tidak rusak. Jaden memutar ulang bagian akhir siaran itu. Seekor tikus melewati mulut gua, sebuah mata merah memenuhi layar.

"Mungkin itu CGI," kata Jaden.

"Mungkin," balas Will.

Kamera bergoncang kuat dan mendarat di rerumputan. Tak nampak apapun sampai seseorang memungutnya cepat-cepat. Gambar di layar kembali bergoncang, si pembawa kamera berlari. Tiba-tiba muncul jubah hitam seseorang mengacungkan tongkat panjang dengan detail ukiran rumit. Terdengar beberapa tembakan. Lalu layar kembali menghitam.

"Jed, menurutku kita harus telepon polisi," kata Will ragu.

"Ayolah Will, kau tidak benar-benar mempercayai siaran palsu ini kan?"

"Dari mana kau tahu kalau ini palsu?" Sekarang Will terdengar panik. "Lagipula, orang itu terlihat sangat nyata, meskipun dia bukan hantu, mungkin saja dia perampok! Dan kau pasti juga dengar bunyi tembakan. Kita harus telepon polisi!"

Sebelum Jaden menyanggah, Will sudah mengetik sesuatu di ponselnya sendiri.

"Sembilan-satu-satu," jawab seorang pria dari seberang telepon. "Apa keadaan darurat Anda?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jaden's Magical ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang