Chapter 3: Dream It Out

47 8 12
                                    

"Sudah kubilang, namaku Elizabeth." Akhirnya ia melepaskan diri dari cengkeraman Jaden dengan mudah seakan-akan ada tangan transparan yang membantunya. "Elizabeth Magic Caster, dan aku adalah penyihir."

Elizabeth mengatakan candaan itu seolah itu bukanlah candaan sama sekali. Seolah cewek itu memang penyihir betulan. Mereka tidak nyata, kan? Cuma dongeng yang dipakai menakut-nakuti anak kecil? Mungkin dia mengetahui satu dua trik sulap. Melolosan diri bukanlah trik yang sulit, demikian pikir Jaden. Ia berusaha menjaga kewarasannya. Betul, dia pasti hanya seorang tukang sulap jalanan. Ia meyakinkan dirinya sendiri lagi. Tapi trik terbang itu terlihat begitu nyata... bagaimana mungkin?

Entah berapa kali ia berkonflik batin sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa raganya masih bergeming di sana. Jaden memandang lurus dengan tatapan kosong sementara cewek yang mengaku bernama Elizabeth itu meninggalkannya.

Elizabeth kini menyimak berita kebakaran di TV. Tiba-tiba ia bersorak kegirangan seakan-akan menang lotre.

"Yes, berhasil!" Elizabeth memekik lalu mengecup layar TV dan memeluknya dengan bangga.

Pekikan itu menyadarkan Jaden dari adu argumennya dengan diri sendiri. "Hei kau! Dasar penipu! Cepat katakan apa maksudmu sebenarnya datang ke sini?"

Jaden menyongsong Elizabeth dengan marah. Will --yang terlupakan keberadaannya-- refleks bangkit dari sofa mendahului Jaden menarik kedua tangan Elizabeth ke belakang secara paksa. Namun Elizabeth tiba-tiba melesat ke atas, dalam satu tendangan kuat ia bersalto ke belakang, membanting Will dalam debuman keras. Will terjatuh ke lantai dan mendarat dengan hidungnya. Will mengerang kesakitan, hidungnya patah dan berdarah.

Emosi Jaden meledak, dia melayangkan tinjunya ke arah Elizabeth namun sebelum ia bisa mengenai apapun, udara dingin berembus entah dari mana dan membekukan tinjunya menjadi onggokan es batu. Jaden menjerit. Elizabeth melotot mengerikan dan rasa dingin itu menjalar ke lengan Jaden, ke bahunya, ke perutnya, hingga ke sekujur tubuhnya.

"Ap-pa-ya-ng-ka-u-la-ku-kan-pa-da-ku?" kata Jaden susah payah dengan lidahnya yang mulai kelu, sebelum ia kemudian menjadi patung es sepenuhnya.

Will bangkit berdiri dengan susah payah. Tetapi dia ambruk lagi melihat perubahan Jaden menjadi patung es. Kali ini dia pingsan.

"Maafkan aku." Elizabeth menatap patung es itu sedih. "Kalau tidak begini, aku tidak yakin bahwa kau akan menerima semua informasiku begitu saja, termasuk yang akan kuberikan sekarang."

Meskipun Jaden tidak dapat bergerak sama sekali di dalam sana, dia masih bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi. Ia menyimak dalam diam dengan tinjunya yang masih terarah ke depan.

"Lihat ini." Elizabeth menarik ponsel dari saku roknya. Di layar itu ada foto kartu identitas Jaden. "Ini maksudku mengambil dompetmu. Untuk datang ke alamat ini, ke sini. Lalu ketika kau mengejarku, aku memutuskan untuk melihatmu dari dekat supaya aku tidak lupa wajahmu, toh cepat atau lambat aku memang berniat menemuimu. Tapi tidak sekarang, pertemuan malam ini sangat tidak direncanakan. Aku terpaksa."

"Waktu aku dalam perjalanan kembali ke Manor, aku dikejar beberapa anggota Saudara Hitam. Lain kali akan kujelaskan siapa mereka, namun yang jelas mereka mengincarmu dan percayalah mereka tidak bermaksud baik." Elizabeth mendesah. "Dan mereka menyelinap ke pikiranku ketika aku membayangkan apartemen ini, tapi mereka tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Jadi aku mengecoh mereka ke apartemen yang salah. Dan kau bisa lihat apa yang terjadi pada apartemen itu."

Elizabeth memutar layar TV supaya menghadap Jaden. Masih pada siaran kebakaran, kali ini mereka bilang kalau apinya sulit sekali padam.

"Sekarang, aku akan membuat sihir perlindungan di sekeliling tempat ini." Elizabeth menyentuh kedua bahu es Jaden.

"Menghapuskan ingatan temanmu." Kehangatan memancar dari kedua telapak tangan itu, kehangatan yang melelehkan kekakuan di tubuh Jaden.

"Dan," sambung Elizabeth seraya melayang pendek untuk menyejajarkan matanya dengan mata Jaden lalu memandangnya lekat-lekat, "membuat kalian tertidur pulas."

Jaden diterpa serangan kantuk yang luar biasa. Satu detik ia berkedip, detik kedua ia terpejam, detik ketiga semuanya gelap. Ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi.

***

Kepingan sereal dituang ke mangkuk dan dicampur susu cair. Jaden mengaduk-aduk dengan malas sambil menguap ngantuk. Will membuka pintu kamarnya dengan juga menguap lalu menggosok-gosok rambutnya. Dia masih terpejam. Pagi itu adalah pagi yang tampak normal.

"Selamat pagi, Tuan Putri. Mimpi indah semalam?" kata Jaden asal-asalan.

"Ejekan itu payah bahkan untuk standarmu, Jed," jawab Will sarkastik dengan senyum yang dibuat-buat. "Tapi untuk rekornya, aku memang bermimpi hal yang paling aneh semalam. Aku bermimpi hidungku patah."

"Benarkah? Bagaimana ceritanya hidungmu bisa patah?" Kali ini Jaden mengernyit tidak percaya. Karena ia memimpikan hal yang sama namun mungkin lebih aneh, melibatkan sihir dan kemustahilan lainnya. Apa ini pertanda kalau peristiwa semalam benar-benar terjadi?

"Uhm..." Will terlihat kaget dengan nada penasaran berlebih pada pertanyaan Jaden. "Aku jatuh dari tangga. Memangnya menurutmu bagaimana?"

"Oh." Ada perasaan lega dalam suara Jaden. Pasti ia juga cuma bermimpi. "Percayalah, kau tidak akan percaya padaku."

^^^

Halo, kembali bersama petualangan Jaden di sini... Maafkan segala keanehan yang ada. Kritik dan saran selalu diterima~

Trims :)

Jaden's Magical ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang