BAB 1

147 9 2
                                    

Plak!!

"Ya! Park Somin! Appo..." rengek Rena sembari mengusap-usap jidatnya.

"Berhentilah memandangi poster bergambar para idol itu. Matamu bisa copot," ledek Somin pada Rena. "Bukankah tiga bulan ini kau sudah bertemu mereka secara langsung?" Ia pun mengalungkan tangan kanannya ke pundak Rena lalu berdecak. "Aish... jangan bilang kau masih belum bisa menguatkan iman?"

Rena memutar bola matanya sebelum menghembuskan napas dengan kasar. Ia menatap Somin sekilas sembari melepas tangan kanan Somin dari lehernya. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan meninggalkan Somin begitu saja.

Menurutnya meladeni omong kosong Somin di pagi hari sama buruknya dengan mengingat kembali kenangan bersama mantan. Yah, walaupun itu hanya perbandingan yang sering Rena dengar, karena ia sendiri belum pernah pacaran sekalipun.

Somin masih berdiri di tempat yang sama, menatap pungung Rena sembari berharap dia akan berbalik. Tapi kenyataan berkata lain. "Ya! Im Rena," pekik Somin kesal, lalu berlari mengejar sahabatnya itu.

Kini Somin sedang berdiri di depan pintu lift. Begitu pula dengan Rena yang berdiri tepat di sebelah kirinya.
Somin menatap lift sebentar, lalu beralih memandang sekeliling. Gedung HBS tempat mereka bekerja masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang staf dan para office girl yang tengah sibuk membersihkan lantai.

Ia pun mencondongkan badannya ke arah Rena, lalu membisikkan sesuatu. "Rena-ya sepertinya kita datang kepagian."

Rena menoleh dan langsung menatap tajam mata Somin. "Bukankah aku sudah bilang seperti itu, tapi siapa yang dari tadi ngotot pergi pagi buta seperti ini?" Nada suaranya sedikit naik.

Somin hanya bisa menyeringai lebar. Ia tak menyahuti perkataan Rena, toh memang ini memang kesalahannya. Ia juga memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan dan untung saja pintu lift terbuka di waktu yang tepat. Mereka berdua segera masuk.

Somin menekan angka nomor 3. Pintu lift tertutup dan perlahan beranjak naik. Tak ada orang lain lagi selain mereka. Bahkan tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulut keduanya, sampai akhirnya lift terbuka tepat di lantai 3. "Rena-ya, pulang nanti mau aku tunggu?" tawar Somin begitu keduanya keluar dari lift. Ia ingin menebus kesalahannya.

"Em," Rena menggeleng. "Tidak usah." Mendengar itu alis Somin naik sebelah. Rena pun lekas melanjutkan ucapannya. "Hari ini aku tidak langsung pulang. Rekan kerjaku mengajak makan malam di luar."

Mata Somin tiba-tiba berkilat terang layaknya seseorang yang menemukan segepok uang di jalanan. "Makan malam? Dengan siapa? Apa dia pria?" tanyanya menyelidik. Belum juga Rena membuka mulutnya Somin kembali berkata, "Hanya berdua?" sembari mengacungkan kedua telunjuknya.

Rena mendesah berat. "Aish, Park Somin. Berhentilah berpikir kalau aku akan pergi kencan buta atau semacamnya. Ini hanya makan malam bersama staf Music Cube." Ia berusaha menjelaskan.

"Oh..." nada suara Somin terdengar kecewa.

Rena tersenyum geli. "Sampai bertemu di rumah~" kata Rena sembari melambaikan sebelah tangan dan berlalu menuju ruang kerjanya.

"O! Bersenang-senanglah," sahut Somin sebelum berbalik dan menuju ke ruang kerjanya.

Ini bukan kali pertama Rena menghadapi antusiasme Somin tentang pria. Tak jarang Somin akan menjodoh-jodohkan Rena dengan pria manapun yang dikenalnya. Semua ini bermula saat Somin tahu kalau dirinya belum pernah pacaran sekalipun. Dan itulah hal yang paling membuat Rena menyesal, karena ia telah menceritakan rahasia terbesar sekaligus aib dirinya.

WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang