02

57 6 0
                                    

Meletakkan tangannya di dalam saku, dia mempercepat langkahnya menuju sekolah atau lebih tepatnya, neraka yang tidak bisa di hindari.

Hyemi menghela napas dalam-dalam, asap putih terlihat setiap dia menghela nafasnya. Pipi pucatnya berubah menjadi merah muda kemudian dia menggosok tangannya, meminta kehangatan untuk memeluk tubuh mungilnya. Matanya sedikit bengkak seperti biasa karena kurang tidur. Selain belajar, dia juga mulai bekerja paruh waktu sekarang, menyadari dia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada ibu pemabuknya.

Segera setelah Hyemi melangkah masuk ke kelas, semua mata tertuju padanya lalu mereka mengeluarkan senyum terpaksa. Senyuman yang mereka keluarkan setiap mereka akan menyuruh Hyemi untuk melakukan sesuatu.

"Oh Jung Hyemi!" Seseorang berteriak dari belakang. "Hyemi kita sudah disini!"

Hyemi hanya bisa menelan benjolan di tenggorokannya. Tetap menundukkan kepalanya, dia berjalan menuju tempat duduknya sebelum dia meletakkan tasnya di atas meja kayu. Bahkan tanpa memutar kepalanya, dia bisa merasa punggungnya terbakar karena tatapan dari teman kelasnya. Dia sudah terbiasa akan hal itu, sebenarnya. Itu adalah tahun terakhir SMA nya dan dia sudah cukup mengenal mereka.

"Hyemi-ah~" Sebuah suara bernada tinggi bergema. "Bisakah kau mengerjakan PRku? Aku ketiduran tadi malam dan sekarang aku harus mengerjakan PR yang lain."

"Aku tidak mau melakukan itu." Hyemi berseru tanpa melihat wajah perempuan yang berada di sampingnya. Dari sudut matanya, dia bisa merasakan perempuan itu menyilangkan tangan di depan dadanya, Mungkin terkejut karena jawaban Hyemi yang berani.

"Wah wah. Sejak kapan hyemi kita punya keberanian untuk menjawab 'tidak'?!" Semua murid tertawa terbahak-bahak saat ucapan itu keluar dari mulutnya.

Menghirup udara dengan jumlah besar, Hyemi bangkit dari kursinya dan membanting meja dengan buku pelajarannya. Suara kencang itu membuat tawa mereka mereda dalam hitungan waktu. Kelas itu hening seketika ketika dia berjalan menuju pintu.

Memang benar itu adalah pertama kali baginya mengatakan tidak. Bukan karena dia takut untuk tidak mematuhi perintah mereka. Itu hanya karena Hyemi tidak mau berakhir dipermainkan oleh teman kelasnya. Dia bisa dianggap sebagai orang buangan; Di bully dan di manfaatkan oleh yang lain. Dia menangis tetapi dia tidak pernah melakukannya di depan semua orang. Dia lebih memilih mengeluarkan tangisannya ketika dia sedang sendirian. Well, bahkan jika dia menangis di kelas, tidak akan ada yang datang untuk menenangkannya.

Ketika Hyemi baru keluar, dia menabrak sebuah figur yang tidak familiar. Buku yang dia pegang jatuh tergeletak diatas lantai, membuat Hyemi segera berlutut untuk mengambil bukunya satu demi satu.

"Maafkan aku." Dia bergumam pelan. Menyelipkan rambut panjang berwarna coklatnya ke belakang telinga, dia terus meminta maaf kepada pria yang hanya diam sejak Hyemi menabraknya.

"Dimana matamu? Jika kau punya masalah dengan penglihatan, pakailah kacamata." Dia berteriak, merebut bukunya dari genggaman Hyemi.

Terkejut karena perkataannya, Hyemi mengangkat kepalanya dan kaget pada penglihatannya sendiri. Dia yakin pria di depannya adalah orang yang minggu lalu menyelamatkannya. Dia adalah pria yang memberikan jaket berwarna birunya. Walaupun pada saat itu gelap, Hyemi bisa mengingat fiturnya satu persatu dengan sangat baik.

Rambut pirangnya berubah menjadi warna kuning yang lebih terang setiap kali terkena sinar matahari yang cerah. Bibir pink, tebalnya bergerak dengan marah, yang Hyemi asumsikan dia sedang mengumpat, walaupun kata-katanya tidak terdengar di telinga Hyemi. Mata yang waktu itu memberinya tatapan hangat sekarang memelototinya dengan kesal.

"Kau... kau orang yang waktu itu menyelamatkanku minggu lalu, kan?" Hyemi meletakkan tangan di mulutnya lalu ia membelalakan matanya terkejut. Hyemi yakin dia adalah orangnya. Rasa ingin tau mulai mengambil alih dirinya dan dia hanya ingin memastikan apakah asumsinya benar atau tidak.

"Apa yang kau bicarakan? Berhenti bicara omong kosong. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya." Pria itu meninggikan suaranya lalu mengamati Hyemi dari atas hingga ujung kaki. Sebuah kerutan terpampang di wajahnya, mungkin karena dia bingung dengan pernyataan Hyemi atau mungkin dia sedang tenggelam dalam kemarahannya.

Mereka berdua berdiri di kusen pintu tanpa mengucapkan sepatah katapun, seperti waktu sedang berhenti. Hyemi ternganga sedangkan pria itu hanya mengangkat alisnya ketika melihat gadis itu terkejut.

"Apakah ada yang ingin kau katakan padaku?" Dia bertanya lalu mengusap rambutnya ke belakang.

"Apakah kau ingat aku? Maksudku, kau adalah orang yang berkata padaku untuk semangat waktu itu. Aku adalah perempuan yang kau selamatkan di jembatan minggu lalu!" Dia berseru. Suaranya menunjukkan sebuah tekad untuk membuat pria itu mengingat insiden yang terjadi belum lama ini.

"Lihat, Aku minta maaf tapi aku pikir kau sedang berhalusinasi. Aku baru saja pindah kesini dan aku tidak familiar dengan tempat ini. Jembatan apa yang sedang kau bicarakan dan apa? aku menyelamatkanmu?" Dia terkekeh tak percaya sebelum dia mengusap wajahnya sebagai tanda frustasi. "Yah. Aku sarankan kau untuk pergi ke dokter dan periksa otakmu untuk memastikan apakah benda itu masih bekerja dengan baik. Ini pertama kalinya aku melihatmu, oke? Sekarang, minggir. Kau menghalangi jalanku."

Hyemi hanya diam membeku di kusen pintu atas pernyataannya. Ketika dia menyadari Hyemi hanya diam, dia mengangkat tangannya dan mengusir figurnya pergi. Tingkahnya cukup kasar, membuat Hyemi sedikit kehilangan keseimbangannya tapi dia entah bagaimana tidak merasakan apapun tentang cara dia memperlakukannya.
Dan begitulah Hyemi, di tinggalkan berdiri dalam kebingungan.




Smile / pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang