03

65 6 0
                                    

Hyemi tau seharusnya dia memperhatikan Bu lee yang sedang berbicara di depan kelas, tapi dia tidak bisa untuk tidak memikirkan hal lain. Menopang kepalanya di tangannya, jari-jari di tangannya yang lain bernari di atas meja. Kedua mata besarnya terkunci ke papan tulis tetapi daripada memikirkan bagaimana cara mengatasi soal matematika, dia menemukan dirinya memikirkan tentang pria baru itu.

Ya, pria yang ia tabrak sebelumnya.

Terkadang, dia akan memutar kepalanya untuk melihat pria yang duduk di belakang kelas. Hyemi lega pria itu tidak menyadari perbuatannya karena dia sibuk melihat ke bawah mejanya, mungkin sedang bermain dengan ponsel miliknya. Hyemi menghela nafas dalam-dalam sebelum dia kembali fokus ke dalam pelajaran.

"Dan seperti yang kalian bisa lihat, kita punya murid baru. Park Jimin, tolong perkenalkan dirimu." Bu lee berseru, memakai senyuman cerah di wajahnya.

Dia langsung mengangkat kepalanya ketika dia mendengar guru memanggil namanya dan mendorong benda datar itu ke dalam saku celananya. Dia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan perlahan-lahan berjalan ke depan kelas dengan tangan terselip di sakunya. Dengan melihat sekilas, dia terlihat seperti bad boy yang akan kau temui di drama.

"Namaku Park Jimin dan kau bisa memanggilku Jimin. Aku baru pindah kesini minggu lalu jadi aku belum familiar dengan tempat ini. Aku harap kalian semua tidak sungkan untuk membantuku." Katanya dengan nada datar dan membungkuk sebelum kembali ke tempat duduknya.

Hyemi bisa merasakan beberapa wanita berbisik pada satu sama lain, mungkin terpukau oleh sikap dinginnya. Hal yang sama berlaku untuk para pria. Mereka pasti girang untuk berteman dengan Jimin.

Park Jimin; Hyemi berasumsi dia tidak seperti remaja lainnya. Cara dia berjalan, cara dia berbicara; semua tingkahnya menyatakan sikapnya yang dingin. Dia tidak terlihat seperti murid yang akan menghabiskan berjam-jam di ruang belajar, tapi dia lebih seperti pria yang mengubah game arkade menjadi rumah kedua mereka. Atau mungkin mabuk karena alkohol.

"Mungkin yang menyelamatkanku adalah kembarannya?" Dia berbisik pada dirinya sendiri. "Iya itu dia! Yang menyelamatkanku minggu lalu adalah kembarannya! Tidak heran dia tidak mengenalku."

Sebuah sebuah senyuman puas dan lebar terbentuk di bibirnya. Itu merasa seperti jika dia memecahkan misteri paling terbesar yang pernah ada. Tapi tetap saja, dia tidak mau langsung mengambil kesimpulan. Dia ingin bertanya langsung kepada Jimin tentang hal itu.

Bel akhirnya berbunyi, menandakan kelas olahraga sudah dimulai. Semua murid bergegas pergi ke loker mereka untuk mengganti pakaian olahraga mereka tetapi Hyemi adalah sebaliknya. Dia tetap duduk di bangkunya, menunggu Jimin untuk berjalan melewatinya.

"Park Jimin."

Jimin terhenti sebelum berbalik, memberikan perempuan itu sebuah wajah datar.
"Apa kali ini?"

Hyemi menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan tenaga yang tersisa di dalam tubuhnya. Di bawah meja, dia tidak bisa berhenti menjalin jari-jarinya, bisa merasakan telapak tangannya perlahan berubah basah. Dia tidak tau kenapa dia menjadi gugup namun demikian, itu tidak menghentikannya untuk bertanya.

"Kau... kau punya kembaran, kan?"

Bibir tebal Jimin sedikit terngaga sebelum mengalihkan pandangannya darinya. Suasana di kelas tiba-tiba berubah pengap dan itu membuatnya sulit untuk bernafas. Berdeham, dia membalas pertanyaannya dengan sedikit anggukan.

"Iya. Aku dulu punya satu."

Hyemi mendesah lega, diam-diam bangga akan dirinya sendiri karena teorinya benar.

"Ahhh. Tidak heran kenapa kau tidak mengenalku. Yang waktu itu melihatku, dia pasti kembaranmu, kan?! Kalian berdua terlihat sangat mirip. Aku terkesan!"

Jimin berkedip dengan cepat saat kata-kata itu keluar dari mulutnya. Dia tidak yakin bagaimana cara untuk berreaksi, jadi dia hanya menganggukan kepalanya.

Dia baru ingin pergi menjauh tetapi pernyataan dari perempuan itu entah kenapa menganggu pikirannya. Jimin menutup matanya sebelum diam-diam memberi perempuan girang itu sebuah pandangan sekilas. Ribuan pemikiran menyerang pikirannya. Dia mencoba untuk menghapus mereka, tetapi bagaimana cara ia melakukannya ketika memori itu masih jelas di pikirannya?

"Jimin." Dia menekan bibirnya. "Beritahu dia, saudaramu. Beritahu dia kalau aku mengucapkan terimakasih. Terimakasih karena sudah menyelamatkanku dan umm... beritahu dia untuk tidak usah mengkhawatirkanku. Aku merasa lebih baik sekarang."

Jimin berhenti di kusen pintu dengan tergesa-gesa, menyebabkan derit nyaring terdengar sebagai konsekuensi dari tindakan mendadaknya. Tangannya tanpa sadar bermain dengan ujung blazernya. Menelan dengan kasar, dia berakhir untuk memutuskan memberitahukan kebenarannya, meskipun itu menyakitkan baginya untuk mengingat kembali ingatan gelap yang membuat jiwanya ketakutan.

"Jung Hyemi." Dia melirik tag namanya.

"Hmmm?"

"Maafkan aku tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa memberitahunya." Dia berbicara dengan punggung menghadap perempuan itu.

"Kenapa? Tidak sesulit itu untuk berterima kasih padanya untukku."

"Dia tidak disini." Jimin bernafas, kata-katanya hampir tidak terdengar oleh Hyemi tapi dia masih bisa mendengarnya.

"Dia pergi kemana?" Hyemi mengernyitkan kedua alisnya bersama-sama. Suaranya menunjukkan sedikit kebingungan sebelum dia menekan bibirnya menjadi sebuah garis.

"Aku dulu punya seorang kembaran. Dulu." Menekankan kata-kata terakhir, Jimin memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah Hyemi.
"Saudara kembarku sudah tiada."

Smile / pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang