"Saya sudah makan."
Nada menggerakkan kedua tangannya, mengulas senyuman manis pada Sean yang mengajaknya bicara. Mereka teman sekelas, duduk di bangku yang saling bersebelahan. Sudah saling mengenal sejak SMP. Empat tahun saling mengenal, Sean mulai mempelajari bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan Nada yang tidak bisa bicara sejak kecil. Dia mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan lehernya patah di empat bagian.
Nada sudah beberapa kali melakukan operasi untuk memperbaiki pita suara, namun untuk alasan yang tidak mereka mengerti, sampai hari ini Nada tetap menjadi seorang tuna wicara. Nada memutuskan menyerah, dia memilih bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang.
Sean adalah sahabat yang baik. Walau banyak gadis yang menyukainya, Sean tetap menghabiskan banyak waktunya dengan Nada. Sean tidak malu sering diejek gara-gara berteman dengan gadis yang tidak bisa bicara, Sean terkadang berkelahi dengan orang-orang yang berani menghina Nada karena kekurangan yang gadis itu punya.
Nada selalu bersekolah di sekolah umum. Dia tetap tegar, berusaha tidak mengambil hati hinaan dan gunjingan orang-orang. Diberi tatapan menyedihkan itu sakit, walau begitu Nada berusaha tetap kuat. Dia tidak mau keterbatasan yang dia miliki membuatnya menutup diri dan menolak berkomunikasi dengan banyak orang.
Nada tidak pernah menyesal atau pun menyalahkan orang lain atas keterbatasannya. Dia bersyukur sudah dilahirkan sang Mama, dia beruntung karena tetap dibesarkan penuh cinta. Nada tidak iri pada adiknya yang bisa berteriak dengan lantang dan bergaul dengan mudah.
"Belakangan ini kamu makan di kelas terus, gak nunggu aku lagi." Sean memasang wajah cemberut, dia menopang dagu, menatap Nada intens. "Kenapa?"
Nada berpikir sejenak, dia menggerakkan kedua tangan, "Kamu harus bergaul juga sama orang lain."
"Hubungan aku sama mereka baik-baik aja."
"Tapi kamu lebih banyak ngabisin watu sama aku daripada orang lain."
Sean mengangkat sebelah alis heran, "Ada yang ngomong hal jelek lagi sama kamu?"
Nada tertegun sesaat. Dia tersenyum menenangkan lalu menggeleng.
"Aku baik-baik aja."
Nada menurunkan tangan kanannya yang tertutup lengan jaket, berusaha tidak menghiraukan denyutan nyeri yang membuatnya nyaris meringis. Lebam kebiruan itu tidak akan hilang dalam waktu singkat, sebisa mungkin Nada harus menutupinya dari Sean.
Nada tidak mau Sean terlibat lagi perkelahian hanya untuk membelanya.
Faktanya... setiap manusia dituntut sama. Perbedaan tidak selalu seindah warna. Orang-orang yang tertinggal, hanya akan menjadi objek penindasan.
Nada merasakannya.
Dia selalu diadili untuk dosa yang tidak dia mengerti. Dihina, diejek, ditindas, bahkan tidak jarang dia mengalami kekerasan fisik.
Mau bagaimana lagi, kan?
Nada tersenyum lirih.
Bukan mau Nada menjadi bisu selama sepuluh tahun ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Voice
Teen FictionDari Nada yang tidak bisa bicara, untuk Sean yang tetap setia mencintainya.