Bagi Putri ... Nada adalah kakak terhebat yang pernah ada. Selalu tersenyum, ceria, tidak pernah marah saat dikatai dengan kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan.
Dulu, Putri berpikir kalau Nada tidak terlalu menghiraukannya. Namun sekarang Putri sadar, bukan Nada tidak menghiraukan, hanya saja Nada memilih menelan setiap perkataan yang diarahkan padanya bulat-bulat.
Nada menerima dan tidak berpikir untuk mendebat karena memang seperti itulah keadaan Nada yang sebenarnya.
Putri tahu Nada terluka, tapi tidak menyangka kalau luka-luka itu bahkan sudah membusuk seperti sekarang. Nada selalu berusaha bersikap tenang, Nada ingin menunjukkan pada semua orang yang memedulikannya kalau dia baik-baik saja.
Padahal Putri ingin bisa melakukan apa pun untuk Nada. Putri berharap sekali saja bisa menolong Nada setiap kali gadis itu ditenggelamkan asa.
"Putri." Alea memanggil si bungsu. Putri menoleh, dia memasukkan satu potong semangka ke dalam mulutnya. Alea memasuki dapur, menghampiri Putri yang berdiri di balik meja bar. "Nada ... gimana keadaannya? Sama Mama dia gak pernah mau cerita."
Putri mengunyah. Dia menunduk sebentar dan memutuskan mengambil satu potong semangka di piring lalu memakannya.
"Gimana, ya?" Putri menyahut datar. "Aku sebenernya khawatir Kak Nada bisa depresi. Mungkin, sebaiknya dari awal dia home schooling aja."
Alea menunduk dalam. Dia juga pernah berpikir demikian. Dia bahkan sudah beberapa kali memberi Nada saran. Tapi Nada bersikeras ingin masuk ke sekolah umum, Nada ingin menjalani kehidupan normal. Mungkin ... alasan yang sebenarnya adalah karena Nada tidak ingin dijauhkan dengan Sean.
Alea tidak bisa menentang keinginan Nada. Dia hanya ingin Nada menjalani hidup yang menyenangkan, tidak terbatas pada kekurangannya. Tidak dihalau hanya karena tidak bisa bicara.
"Kak Nada udah mutusin Kak Sean." Putri menatap ibunya yang tampak terkejut. "Kak Sean pulang, dia kelihatan kecewa banget."
Ya ... Alea bahkan tidak bisa menyalahkan reaksi Sean. Wajar, Alea tahu Sean sudah menyukai putri sulungnya sejak lama. Mereka akhirnya bisa berpacaran, tapi baru sebentar Nada tiba-tiba ingin mengakhiri semuanya.
"Semoga ... Nada baik-baik aja."
***
Sean duduk di sofa. Jari-jarinya saling meremas satu sama lain. Dia tengah menunggu di ruang tamu salah satu teman sekelasnya. Mata Sean menyorot dingin, bibirnya terus merapat ketat.
Wajah Sean mengeras. Kedua bola matanya masih terlihat merah.
Walau dia tidak yakin dugaannya benar, tapi selama ini memang tidak pernah ada orang yang terang-terangan mengganggu Nada dengan kejam seperti salah satu temannya.
Teman?
Sean mencebik.
Dia bahkan tidak sudi dianggap teman oleh orang itu. Bernapas satu ruang dengannya saja Sean ogah. Kalau bukan karena terpaksa, Sean bahkan tidak mau menginjakkan kaki di rumah ini.
Tapi ada yang harus Sean luruskan.
Jika Sean tidak melampiaskan kekesalannya, Sean merasa akan gila karena ditelan kemurkaan.
Nada selalu menganggap Sean sempurna. Nada menganggap Sean tidak sedikit pun memiliki kekurangan dalam sosoknya.
Padahal ... Nada salah besar.
Sean mendelik saat melihat seseorang yang datang menghampirinya.
Sean ... tidak pernah bisa disandingkan dengan kata sabar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Voice
JugendliteraturDari Nada yang tidak bisa bicara, untuk Sean yang tetap setia mencintainya.