"Kira-kira begitu lho, pahlawanku. Kereeeen."
Pemuda berambut merah itu menopang dagu. Bukan karena ia tidak ingin menjadi pendengar yang baik. Melainkan curahan hati sahabatnya sudah bercerita kisah yang sama sebanyak dua puluh satu kali. Itu pun jika ia tidak salah hitung. Salah pun tidak apa-apa. Gadis itu tidak akan peduli juga.
"Terus kau sudah bertemu dengannya?"
Gadis bernama [Full Name] itu menggeleng. "Belum. Dia seperti aktor drama. Padahal realita, tapi terjadi seperti ilusi. Dan saat ambulans tiba, tapi aku tidak bisa mengikuti jejaknya saat itu sudah harus dihadap ke kantor polisi untuk bersaksi."
"Ciri-cirinya bagaimana?"
[Name] menjadikan tongkat pel sebagai penopang dagu. "Dia tidak begitu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dariku. Kulitnya putih, rambut pink pucat, sepasang mata merah kecokelatan, sisanya sudah lupa. Aku ingin ketemu dia, Riku-kun!"
Jika tidak dibilang laki-laki sejak awal, Riku pasti menyangka sosok karakteristik "pahlawan" [Name] adalah perempuan tulen yang anggun. Riku hanya diam lebih dulu dan meneguk café au lait. Sebagai sahabat karib selama tiga tahun, Riku sudah paham betul sikap [Name]. Jika ada suatu perkara, ia tidak akan pernah berhenti membahasnya terkecuali sudah dibereskan. Setelah ada perkara baru, maka akan terjadi ke siklus awal. Dan, kasus itu sudah berlalu setahun silam.
"Apa kita perlu memajang poster pencarian orang hilang?" saran Riku meletakkan cangkir di atas tatakan.
Bekerja paruh waktu, [Name] melanjutkan sesi mengepel ria. "Jangan! Dia tidak hilang, tetapi tidak ditemukan."
Riku memandang jalanan yang sudah dipenuhi pejalan kaki yang berlalu-lalang. Dia ingin topik ini segera teralihkan. Solusi apapun takkan terjadi jika [Name] terus tidak memilih segala alternatif yang pernah ditawarkannya. Musim dingin mulai memunculkan eksistensinya yang sejuk nan menusuk tulang.
"Kau tahu, natal sebentar lagi tiba," tutur Riku setelah bohlam imajiner melintas di atas kepalanya.
[Name] mengangguk pelan. "Ya, terus?"
"Keluargaku berpesta hari itu. Setelah sekian lama, kakakku bersedia pulang!"
[Name] menekap sebagian wajah. "Kakakmu yang bekerja sebagai manajer perusahaan retail terkenal itu? Wah, berarti itu kabar yang baik sekali, bukan?"
Pemuda berambut merah cerah itu mengacungkan jempol. "Bukan baik sekali, tapi luar biasa! Pokoknya, kau wajib datang."
"Apa tidak apa-apa? Aku bukan bagian keluargamu, lho."
Riku berdecak. "Jangan merasa sungkan! Ibuku sudah menyuruhmu mengundang ke rumah seminggu terakhir ini."
Mengulum senyum simpul, [Name] merasa akhir Desember akan menjadi hari-hari yang menyenangkan. Kebetulan pula, kafe tempatnya bekerja bersedia memberinya dua hari libur pada tanggal 24 dan 25. [Name] berbalik badan, mengangkat papan kuning pemberitahuan lantai basah, lalu menoleh ke arah Riku.
"Aku akan datang! Lanjut kerja dulu, ya!"
Riku melambaikan tangan hingga gadis itu kembali menuju pintu khusus karyawan. Syukur saja topik utama tersebut dapat berlalu sesegera mungkin. Ia tidak ingin membayangkan manajer kafe menegur sahabatnya itu untuk kesekian kali. Iris merah Riku kembali memandangi jalanan lagi. Irisnya terfokus ke arah keluarga; ayah, ibu, dan dua anak berjalan beriringan dan saling bergandengan tangan.
"Semoga Tenn-nii bisa berbaikan dengan ayah."
Memutuskan melanjutkan aktivitas lain, Riku menarik sisi tali tas ransel ke bahu kiri usai menghabiskan sisa kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ˡᵒˢᵗ & ᶠᵒᵘⁿᵈ [ᵉⁿᵈ]
FanficWalaupun bukan kisah tragis, tetapi pertemuan pertama mereka bermula dari kejadian ironi. Setahun silam, Tenn terluka karena menolong [Name]. Tentu saja gadis itu memutuskan untuk berutang budi. Namun seakan hanya ilusi, [Name] tidak menemukan jejak...