3. Playing God

141 27 11
                                    

Chapter Three

Minghao masih mengingat dengan jelas kapan terakhir kali dia bertemu dengan hyung-nya, saat itu dia berusia 11 tahun, masih memakai seragam sekolah ketika tangan besar hyung-nya menggengam erat pergelangan tangan kirinya yang kurus, dia digandeng. Berjalan beriringan melewati banyak orang yang berlalu-lalang di jalanan yang ramai, sangat ramai sampai-sampai Minghao takut kalau mereka akan tersesat.

Tapi dia percaya, dia tahu jika hyung-nya adalah orang yang hebat, jadi mereka tidak akan bisa tersesat meskipun pada saat itu mereka hanya pergi berdua saja, tanpa ditemani ayah mereka dan ibu Minghao.

Namun dia sangat senang. Karena ada hyung yang bersamanya, saat itu.

Di kanan dan kiri Minghao adalah berbagai macam jenis permainan; sampai dia tidak tahu harus memilih yang mana. Yang jelas Roller Coaster dan jungkat-jungkit raksasa adalah permainan yang paling di hindari Minghao, dia takut. Jadi dia hanya menaiki kuda putar bersama hyung-nya yang duduk di belakang Minghao.

Dan mereka tertawa. Baru kali itu mereka berputar-putar tapi tidak membuat kepala sakit. Lagi, Minghao senang karena hyung-nya ada bersamanya.

Tangan Minghao masih tetap digenggam oleh hyung-nya ketika kembang api meletus di udara, berwarna-warni dan berkelap-kelip indah. Langit malam semakin membuat kembang api menjadi lebih jelas terlihat. Ini bukan perayaan tahun baru ataupun hari natal tapi kembang api belum mau berhenti untuk meletus. Seperti hujan pelangi di langit yang gelap.

"Minghao, apa kau tahu kenapa hyung membawamu kemari?"

Minghao menggeleng sekali, dia bahkan juga tidak tahu kenapa hari itu hyung-nya yang datang menjemputnya ke sekolah, karena Minghao terbiasa naik bus sekolah saat dia pulang.

"Lalu, apa kau ingin tahu alasannya?"

Kali ini Minghao mengangguk, menatap mata hyung-nya dengan mantap. Dia melihat hyung-nya tersenyum tapi tak melihat kearahnya.

"Karena hyung sangat menyayangimu, itulah alasannya kenapa hyung membawamu kesini. Apa kau senang?"

Apakah Minghao boleh menjawab tidak jika dia tahu akan berakhir seperti ini?

Tapi Minghao kecil mengangguk antusias. Ya, dia senang, dia sangat senang berada di tempat yang ramai asal bersama hyung-nya. Minghao senang karena hyung-nya yang menjemputnya saat pulang sekolah dan mengajaknya untuk berjalan-jalan. Minghao pun senang jika senang adalah hal yang bisa membuat hyung-nya juga ikut merasakan senang.

Lalu, apakah sekarang dia masih senang? Bagaimana dengan hyung-nya? Apakah dia juga merasa senang setelah dia membuat Minghao berpikir bahwa dia adalah adik yang paling beruntung karena memiliki hyung seperti dirinya yang membawanya bersenang-senang meski tanpa di dampingi kedua orang tua mereka; saat itu, namun hilang entah kemana ketika Minghao membuka mata keesokan harinya? Seperti sebuah mimpi di dalam mimpi. Tak pernah ada yang mau menjawab pertanyaan Minghao tentang kenapa dan dimana hyung-nya pergi. Bukankah seharusnya selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan yang masih bisa di verbalkan? Lalu mengapa semua orang seolah bungkam saat Minghao menginginkan sebuah jawaban saja? Setidaknya memberi Minghao alasan agar dia tidak merasa bahwa dirinya lah yang menyebabkan hyung-nya lari dari rumah. Sebab, hyung-nya tak pernah ceroboh, apakah ini yang dinamakan dengan kasih sayang jika akan pergi setelah membuat hati orang menjadi senang? Membuatnya melayang namun setelahnya akan dibuang. Apakah hyung-nya benar-benar menyayanginya?

Wings [If These Wings Could Fly]▫[Seokmin & Soonyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang