[COMPLETED] Kalau saja ia tak pernah memberikan surat cinta itu, mungkin benang merah takdirnya takkan pernah terjalin dengan sang kakak kelas.
Senpai!Urata x Kouhai!Sakata Fanfiction.
Genre : Fluff, Sho-Ai, Boyslove
Art in the cover isn't mine
Cove...
“Aku masih tidak bertemu Urata-senpai belakangan ini, apa Araki-senpai tahu ia ada di mana?”
“Urata? Dia tidak masuk. Sepertinya keluarga Urata sama sekali tak mengabari sensei.”
“Hari ini juga?”
…
“Ah, dia masuk hari ini. Tapi sejak kau pulang bersamanya, ia tidak pernah menemaniku latihan basket lagi,” ujar Araki pada Sakata yang datang ke kelasnya untuk kesekian kali.
Semakin hari, Sakata sendiri bertanya-tanya kenapa ia mencari kehadiran Urata, setelah sang kakak kelas sendiri yang memutuskan hubungan.
“Ano … Sakata,” panggil Araki saat Sakata hendak meninggalkan kelasnya.
“Beberapa hari ini, ia selalu pulang tanpa payung saat hujan deras. Aku khawatir ia tidak masuk karena sakit.”
Senpai ? Sakit karena membiarkan dirinya kehujanan?
...
“Tidak mungkin ia ada di sini, sih.” Sakata tersenyum kecut. Setelah lama mencari, kenapa pula justru atap yang ia terbesit di benaknya?
“Benar juga … Saat itu Urata-senpai menanyakan kejelasan hubungan tak jelas ini."
Dan aku belum menjawabnya hingga saat ini.
“Hrngh….”
“U-Urata-senpai ?” Sakata tersentak kala mendapati Urata yang tertidur dalam posisi bersandar di samping pintu atap. Tepat di sebelah nya berdiri.
“Apa kau membenciku?” tanya Urata pada Sakata yang kini ia tindih di bawahnya, atau kini mereka dalam posisi yukadon.
“Apa kau masih takut padaku?” tanya Urata lagi dengan sebuah senyuman sendu. Jemarinya justru bergerilya di bawah sana membuka satu persatu kancing baju Sakata.
“Kenapa— senpai, hentikan! Cukup!” Sakata memberontak kala kesadarannya kembali terkumpul.
Hasilnya nihil, Urata enggan beranjak dari duduknya di atas pinggang Sakata.
“Jangan membenciku...,” lirihnya lagi.
Mata Sakata membelalak kala menyadari jejak air mata dari netra hijau ke sepanjang pipi Urata.
“Aku … takut,” bisik Urata lagi.
Badannya … masih sangat dingin. Pikir Sakata saat mengusap pelupuk mata Urata yang basah.
“Mereka semua … menyakitiku. Lalu meninggalkanku.”
Sebelum Sakata sempat bertanya, detik berikutnya tubuh ringkih penuh luka si kakak kelas ambruk menindihnya. Seakan kehilangan seluruh tenaga, raut wajah yang dingin itu nampak sangat tertekan dan kian memucat.
Deru napas Urata yang lemah menerpa kulit leher Sakata. “Urata-senpai!?” Pekik Sakata adalah hal terakhir yang Urata dengar sebelum pandangannya menggelap.
… . . . -Bohong kalau bibirku berucap tak merindukannya lagi, Karena nyatanya hatiku berteriak menahannya pergi- . . . -TO BE CONTINUED-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.