San

63 15 1
                                    

Seminggu penuh aku memikirkanmu, setia untuk selalu memastikan pada mereka untuk rencana ujung minggu rutin kita. Aku tak ingin melewatkanmu. Barisan kata kususun seindah mungkin untuk memberimu sejuta rencana untuk aku dan kamu lewatkan.

Hingga waktu itu datang menuntun kami.

Pagi itu mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing. Rikka yang punya tugas justru sedang bersantai bersama Avan, mereka bersenandung dan bercanda tanpa melihat sekitar. Sedangkan Ai dan Mika sibuk dengan mengurus anak anak.

"Van, enggak nyangka aku. Kamu keren banget sih," pujinya yang semakin terkagum kagum setelah Avan membalasnya dengan senyum yang lembut. Avan dan Rikka asik dengan kegiatan mereka.

Dan tiba saat waktu makan siang, semua orang berkumpul di ruang makan. Dua orang laki-laki menghampiri Mika lantas menjabat tangannya dan memperkenalkan diri. Seorang yang berdiri dengan mata bulat yang tampan memperkanalkan dirinya sebagai Farhan. Dan yang duduk dengan bibir tipis merah bernama Adit. Mereka adalah dua teman Avan dan Arka lain, dua anggota bend mereka. Mereka telah bersahabat sekian lamanya dan bahkan mereka mengambil satu jurusan yang sama dan dari universitas yang sama pula. Farhan dan Adit juga seorang pengurus relawan di yayasan.

Hari itu, Ada lebih banyak hal yang mereka tahu dari seluk beluk yayasan itu. Dari tempatnya, hingga orang yang meninggalinya. Dan tentunya tentang kamu.

"Woy, malah ngelamun. Kenapa sih?" tanya Adit pada Mika.

"Eh, maaf maaf aku cuman..." balasnya tak selesai.

Saat itu Mika memang sedang membantu Adit menyiapkan perlengkapan mandi sore untuk anak anak. Tapi pikiran Mika justru tak ada di tempatnya, ia ingat bahwa ada tugas salah satu matkulnya yang belum ia kerjakan.

"Kalau kamu tidak mau tak perlu kamu kerjakan, aku saja sudah cukup," tegas Adit.

"Eh jangan jangan, aku mau kok. Aku hanya memikirkan tugas kuliahku yang belum selesai."

"Ya sudah, kerjakan saja dulu."

Kali ini Adit bersikap lebih lembut pada Mika. Mika yang tak tahu harus apa hanya bisa mengangkat garis lengkung bibirnya dan segera memenuhi ucapan Adit.

Di waktu yang sama Rikka telah duduk manis di depan laptopnya, menulis yang ia pikirkan.

Sedangkan Ai sepertinya mulai nyaman dengan pekerjaannya menjadi pembantu pemasak di dapur.

"Ai maaf bisa tolong ambilkan wortel."

"Iyah, ini. Mau sekalian aku kupas tidak?" ungkapnya sambil mengacungkan pisau ke arah Nawa.

Nawa yang dikagetkan dengan sodoran pisau Ai sepontan menyondongkan tubuhnya ke belakang.

"Sorry, aku enggak sengaja," senyum Ai memelas.

"Iya tidak apa kok, kalau kamu bisa kamu boleh kupas wortelnya. Tapi hati-hati ya!" pintanya memperingatkan.

Sayangnya belum lama Nawa memperingatkan, darah segar telah mengalir dari ujung jari Ai.

"Wow!" teriaknya mengibaskan jari telunjuk kirinya.

"Ya ampun, kamu tidak apa apa? Mari aku lihat."

Sepertinya perempuan di depan Ai ini begitu sempurna. Ia sangat lembut dan baik. Bahkan Nawa juga perempuan yang pandai dalam segala hal, mulai dari keterampilan juga pengetahuannya.

Sampai tak terasa, jari telunjuk Ai telah terbalut rapi dengan kain putih.

"Makasih Wa. Maaf ya, niatnya ngebantu malah merecoki," maafnya menundukkan kepala.

"Santai saja, lagi pula ini juga hampir selesai," balasnya ramah.

"Kalau begitu aku ke depan saja ya, takut semakin merecoki. Nanti enggak selesai selesai lagi," katanya meninggalkan dapur.

Ai berjalan menuju halaman depan berniat nghampiri Rikka.

"Kakak lihat gambarnya!"

"Eh, apa ini?" Ai terheran-heran dengan gambar yang disodorkan oleh Nathan. Itu adalah gambar yang tidak dapat ia artikan.

"Wah, bagus. Pandai sekali," puji lelaki di depan Ai memberi senyum.

Dan sepertinya, pujian Arka itu membuat Nathan meleleh dibuatnya. Anak itu berlari menuju teman temannya, dan dengan sombongnya memperlihatkan hasil karyanya.

"Habis belajar masak ya?" matanya mengarah ke jari telunjuk Ai.
"Eh iyah," jawab Ai menutupi rasa malunya.

Setelah itu Arka meminta Ai untuk membantunya mengajak bermain beberapa anak di halaman belakang.

Di halaman depan Mika duduk di sisi lain dari tempat Rikka mengerjakan tugasnya.

"Belum selesai?" sebuah kalimat lembut itu mengalir dari seolang lelaki itu, dengan suara yang berbeda dari sebelumnya.

"Belum."
"Boleh aku bantu?"
"Tentu. Eh tapi, memang bisa?"
"Ragu?"
"Eh."

Sore itu dua makhluk itu saling mengenal satu sama lain. Memberikan senyuman dari masing-masing.

"Kalau pacaran jangan di sini dong, bisa kan? enggak enak kalau di lihat adik adiknya," teriak Farhan dari bibir pintu depan.

Bukannya dua orang yang ditujunya, Rikka malah yang melompat dari tempatnya duduk.

"Kalau bicara, bisa lebih pelan? Bukanya lebih enak ya kalau kedengeran sama adik adiknya," protes Rikka kesal.

"Bodo amat, emangnya siapa suruh dengar," sangkal Farhan sambil melarikan diri masuk ke dalam.

Waktu terus berlalu Minggu itu sampai tubuh dan otak ini tak merasakan salam pamit oleh cahaya matahari yang telah terhenti bersinar untuk hari itu, memaksakan kami untuk kembali dari tempat berharga hati ini.

"Bu, kita pamit yah. Makasih untuk hari ini."

"Iya, saya justru sangat senang dengan kehadiran kalian."

Mika memimpin salam pamitan kami. Sedangkan Adit, Arka, Avan, dan Farhan juga pamit untuk pulang.

Kala itu gelap telah datang, tapi dengan mata ini aku telah mengintipmu lewat kaca mobil itu. Wajah yang hanya dapat ku lihat sebagiannya itu tersenyum lembut pada makhluk lain.

Apa ini?
Sebuah rasa yang tak biasa. Mungkinkah ini yang Kau sebut dengan cemburu?
Ah, rasanya tidak. Aku tak ada lagi hak untuk itu. Jika kau menjadi miliknya, biarlah mata ini yang melihat tanpa hati ini merasakan perihnya.

Karena sesungguhnya itulah yang kau rasakan kala aku menghianati apa yang kau percayakan kepadaku.





Spring in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang